26. Confession (1)

18.2K 1.7K 45
                                    

A/n: FYI nih guys. Ada reader cowok di sini... Uuuhhh! Kmren si doi yg tdk diketahui nmanya (krna pke nama the boys) mnta ke gue supaya ada Harry/Harrold's PoV, krna dy jga pgn masuk ke ceritanya sbg cowok ktanya. Gue ksh tau di cerita gue ada khusus Harry's PoV. Tp dy tetep pgn adanya di sini biar ga ombang-ambing ceritanya (nih cowok keren bahasanya asli. Moga bukan berondong.) :D

-Harry's PoV next1/ 2 chapter okay? ;)

Aku sedang duduk berdua dengan Harry di dapur. Aku tak ingin ketika Ibu pulang, ia memergoki Harry sedang tidur di kamarku. Jadi aku menyuruhnya untuk keluar—ditemani olehku tentu saja. Aku membuatkan Harry segelas koktail dan meminumnya bersama duduk di meja makan dan menyalakan TV.

Ke mana Ibu? Bukankah ia bilang ia akan segera pulang? Aku melirik jam dinding yang menunjukkan waktu lebih dari pukul 1 a.m. Haruskah aku mulai mengkhawatirkannya? Tapi untuk apa? Ia bahkan tak mau aku tahu masalahnya. Dia lebih memilih Niall dan Christine untuk menemaninya di Rumah Sakit. Apa lagi yang lebih buruk selain itu? Disudutkan oleh ibuku sendiri.

“Apa yang sedang kaupikirkan?” tanya Harry menaruh gelas koktailnya di atas meja.

“Ibu. Ia bilang ia akan segera pulang, tapi tidak sampai detik ini.” Jawabku mendesah khawatir.

“Memang ke mana Angie?” ia mengintrogasiku seperti seorang detektif.

“Rumah Sakit. Aku ragu apa aku harus mengkhawatirkannya atau tidak, karena mengetahui keadaannya saja aku tak boleh.” Keluhku. Harry mulai menatapku dengan lekat, bahkan bisa kuhitung kedipan matanya. “Apa?” tanyaku berusaha membuyarkan pikirannya.

“Kau bahkan beruntung masih memiliki ibu yang peduli terhadapmu.” Katanya membuatku mengerenyit heran.

“Ibumu?” aku terheran.

“Tidak ada apa-apa dengan ibuku. Aku hanya mengingatkan, masih banyak orang yang bahkan tidak memiliki ibu.” Koreksinya. Tapi bukan itu yang kulihat dari tatatapannya. Kini aku yang menatapnya tapi ia tertunduk menelaah pikirannya.

“Harry?” aku memanggilnya dan otomatis membuatnya mendongak ke arahku sambil mengangkat kedua halisnya dengan tampan. “Kau tahu? Kita harus memulai pendekatan. Mengingat kita baru benar-benar dekat setelah kita memutuskan untuk berhubungan yang lebih jauh.” Pintaku mendapat respon tatapan yang datar dari Tuan Dingin ini.

“Seperti permainan Truth or Dare?” ia menyeringai dan aku tahu apa maksudnya. Ia pasti akan memintaiku melakukan macam-macam. Aku menggeleng tidak setuju.

“Aku lebih tertarik dengan Confession, bagaimana?”

“Itu terlalu membosankan. Ayolah Brit.” Ia meremehkan. Aku menekuk wajahku dan kembali pada koktailku. Ia memerhatikan raut wajahku dan akhirnya menghela napas mengalah. Aku mulai suka jika ia menatapku seperti itu.

“Baiklah. Siapa yang mulai?” tanyanya langsung membuatku tersenyum.

“Aku.” Teriakku antusias.

“Baiklah asal kau duduk di sini.” Pintanya. Aku memutar kedua bola mataku ketika ia menepuk-nepuk pahanya memintaku untuk duduk di pangkuannya. Ia suka sekali memangkuku. Aku melangkah dan duduk di pangkuannya.

“Tidak seperti ini Brit! Buka selangkanganmu dan duduk berhadapan denganku.” Pintanya dengan penuh nada perintah.

“Tidak mau! Akan sulit nanti jika ada yang masuk.” Tolakku.

“Kalau begitu aku tak ingin main.” Ancamnya. Aku menghela napas dan menuruti keinginannya. Aku turun sebentar dari pangkuannya lalu membuka pahaku dan mendudukinya hingga kini kami berhadapan sangat dekat—nyaris seperti posisi seks. Sial! Aku menginginkannya.

(TERBIT) Alter Egoحيث تعيش القصص. اكتشف الآن