"Aku lebih suka mendengarkan ceritamu daripada menghadiri pemakamanmu."
—Moa Jatraji—
—————
"Ayah, pulang." Pinta Maratungga dengan suara parau kepada Tigu melalui sambungan telpon.
"Nggak bisa."
"Hari ini jenazah Cakra mau dikuburin. Maratungga mohon sama ayah, ayah pulang..."
"Ayah... Mara mohon... Pulang Ayah pulang.... Cakra nungguin ayah di rumah."
"Udah dibilang nggak bisa, ayah sibuk!"
"Peluk Cakra sekali aja, Mara mohon, Yah... Mara mohon... hiks!"
"Cakra nungguin Ayah di rumah."
"Peluk Cakra sekali aja, sebelum jenazah Cakra dikuburin."
Tut.
Tigu mematikan sambungan telponnya.
"Ayah!"
Maratungga memandang tubuh adik tirinya yang dulu sering bermain bersamanya kini terbungkus kain kafan putih dan terbaring di hadapannya.
"Hiks!"
"Cakra... hiks!"
Maratungga menatap jenazah Cakrawala. Air matanya tidak berhenti berjatuhan, suaranya pun terdengar sangat pilu dan menyakitkan.
"Maafin Bang Mara... Maafin Bang Mara nggak bisa bawa ayah ke sini... hiks!"
"Maafin Bang Mara nggak bisa bikin ayah peluk Cakra..."
"Maafin Bang Mara..."
"Maafin Bang Mara... hiks!"
"Cakra dipeluk sama Bang Mara aja, ya..."
"Sini, Bang Mara peluk Cakra...."
Maratungga memeluk tubuh Cakrawala yang sudah terbungkus kain kafan itu dengan sangat erat.
"Bang Mara sayang sama Cakra..."
Maratungga lantas melepas pelukannya.
"Bang Mara... hiks!"
"Kenapa Cakra ninggalin Bang Mara..."
"Cakra bilang nanti kita bakalan pergi sama-sama. Tapi kenapa Cakra duluan yang pergi... hiks!"
Aya mendekati Maratungga, memegang pundak rapuh laki-laki itu. Ketika memegang tangan Maratungga, Aya bisa merasakan suhu badan Maratungga tinggi. Maratungga demam. Semalaman Maratungga kehujanan.
"Mara udah ya Mara..."
"Ikhlasin adik kamu. Ikhlasin Cakra."
Maratungga hanya diam dengan air mata masih berjatuhan dan isak tangis yang terdengar jelas.
"Bunda kembalikan Cakraaa... hiks!"
KAMU SEDANG MEMBACA
2. NOT ME ✔️
Teen FictionCakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sampai pada akhirnya kepura-puraannya untuk bahagia justru merenggut kewarasannya. Ia sakit mental. "Setelah sekian bulan saya mengamati peril...