CHAPTER 1 | RAPUH |

363K 38.5K 6K
                                    

"Mereka yang berdiri setelah dihantam badai tidak akan terusik oleh gerimis."

—————

"Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku?" tanya Pevita Amsahi, sedikit ketus

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apa yang sedang kamu lakukan di kamarku?" tanya Pevita Amsahi, sedikit ketus. Pasalnya, ia paling tidak suka jika ada orang lain masuk ke dalam kamarnya tanpa ijin.

"Bukan apa-apa, cuma mau ambil uang aja," jawab Nadin. Ia membuka satu persatu laci nakas.

"Letakan dompetku sekarang!"

Nadin tersenyum smirk saat menemukan puluhan lembar uang ratusan ribu dari dalam dompet ibunya. Pevita menghampiri Nadin. Ia mencoba merebut uang dalam dompet yang dikeluarkan Nadin, namun tidak berhasil. Nadin sudah terlebih dahulu mengambilnya. Anak itu telah benar-benar menguras habis isi dompetnya.

"Berikan uangku sekarang!" sentak Pevita.

"Enggak! Mulai sekarang ini uang gue."

"Serahkan uang itu sekarang Nadin!"

Nadin berjalan keluar dari kamar Pevita.

"NADIN!"

Nadin menoleh. "Berisik! gue cuma minta uang sedikit, nggak usah lebay deh!"

"Sepuluh juta kamu bilang sedikit?! Mau kamu apakan uang itu? Ha? Itu uang buat kebutuhan rumah ini Nadin..."

Nadin terkekeh. "Kalau uang lo habis, lo kan nggak usah cape-cape kerja. Tinggal minta aja ke om-om, beres."

"NADIN!"

Amarah Pevita meledak. "Seharusnya dari dulu aku emang nggak pernah ngelairin kamu!"

"Gue juga nggak pernah mau dilahirin dari rahim perempuan menjijikan kayak elo!"

"NADIIIIN!"

Nadin tidak peduli, ia meninggalkan ibunya yang tengah berteriak-teriak seperti orang gila. Ibu? Nadin bahkan jijik mengatakan kata itu pada wanita seperti Pevita. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur dilahirkan oleh wanita itu.

Pevita menyibak rambutnya ke belakang. Ia menghembuskan napas lelah. Selalu seperti ini. Nadin Halmahera, anak itu memang tidak tahu diuntung! Seharusnya dari dulu dia menggugurkan kandungannya saja. Anak itu bahkan tidak pernah bisa mengerti bagaimana sulitnya selama ini Pevita menjalani hidup tanpa seorang suami.

"Sayang, bisa jemput aku sekarang nggak?" tanya Nadin pada Wicaksana Sasena—kekasihnya—melalui sambungan telepon.

"Kamu di mana?"

"Halte."

"Oke, tunggu aku, ya?"

"Hm," Nadin mengakhiri telponnya.

———

———

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now