|CHAPTER 59 | USAI

162K 23.1K 3.4K
                                    

"Karena kita dipertemukan hanya untuk membuat kenangan bukan masa depan."

————

Seminggu berlalu, dan Cakrawala tidak pernah kembali. Senyuman serta tawa ceria anak itu telah benar-benar menghilang, meninggalkan sejuta kenangan yang tidak akan pernah bisa diulang kembali.

Kepergian Cakrawala membuat sosok Maratungga menjadi lebih pendiam. Rumah yang biasanya diisi oleh suara-suara cerewet Cakrawala serta suara gaduh akibat kedua kakak beradik itu berantem, kini hanya sepi. Sunyi.

Tigu tidak pernah pulang. Maratungga hanya sendiri di dalam rumah. Tidak ada yang berada di sampingnya saat seluruh tubuhnya terasa nyeri dan sakit luar biasa.

Maratungga duduk diam di ruang makan, dihadapannya sudah tersaji semangkuk bubur yang telah ia buat sendiri asal-asalan. Ia memandang bubur putih yang belum di aduk itu tanpa minat. Tidak ada suara apapun yang terdengar selain suara isak tangis Maratungga dalam kesunyiaan yang terdengar semakin jelas.

Ia merindukan adiknya. Sangat rindu.

"Bang Mara ayo dong makan."

"Kalo Bang Mara malas, sini Cakra suapin juga nggak papa."

"Bang Mara..."

Maratungga terisak. Ia sangat ingin mendengar kembali suara lembut dan ceria itu memanggilnya berulang kali, 'Bang Mara, Bang Mara, Bang Mara.'

Maratungga menjauhkan mangkuk bubur itu begitu saja, tidak selera.

"Cakra, Bang Mara nggak mau makan. Bang Mara juga nggak mau minum obat."

"Ayo marahin Bang Mara lagi, Cak."

"Ayo, Cak. Marahin Bang Mara lagi..."

Maratungga sudah tidak peduli lagi dengan hidupnya. Ia bahkan sangat berharap supaya kematiannya semakin mendekat.

Ia berjalan dengan langkah berat menuju kamar Cakrawala. Kamar yang dulu selalu ditempati oleh adiknya itu, kini kosong. Hanya kesunyiaan yang selalu mengisi dalam setiap detikan waktu.

Rasa sesak seketika menyergap dada Maratungga saat ia melihat barang-barang milik Cakrawala masih tergeletak di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun.

Maratungga mendudukan diri di bibir kasur Cakrawala. Kasur milik Cakrawala itu masih sangat-sangat bersih dan rapi karena tidak pernah dipakai oleh Cakrawala. Anak itu lebih memilih tidur di dalam lemari dan terbangun dengan kondisi seluruh badan nyeri, daripada harus tidur di atas kasur seperti dicekik sampai mati.

Pandangan Maratungga terhenti pada buku bersampul kuning polos yang tergeletak di atas meja belajar. Ia bangkit, mengambil buku tersebut, kemudian membukanya.

Saat ia buka, dihalaman pertama ada tulisan tangan Cakrawala dari pulpen berwarna biru.

Ini punya Cakra. Jangan diintip, ya.
Jangan dibaca, pokoknya jangan.
Cakra malu, ih.

Membaca tulisan tersebut membuat Maratungga terkekeh kecil, rasa rindu kepada adiknya semakin tak terbendung. Masih teringat jelas diingatannya bagaimana ekspresi Cakrawala ketika sedang malu. Anak itu selalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan atau benda apapun di sekitarnya ketika sedang malu. Pipinya juga pasti seketika menggembung, bersemu merah.

"Cakra pasti udah ketemu sama Bunda, kan?"

"Cakra udah dipeluk sama Bunda. Iya?" Tanyanya sambil membuka buku diary kuning tersebut.

2. NOT ME ✔️ Where stories live. Discover now