20. Shaula, Ayah dan Bunda

41 19 0
                                    

Komen yuk, vote ke berapa, nie?

***
Shaula mengerjapkan matanya yang terasa perih. Tangannya meraba sesuatu di atas nakas. Mematikan alarm pada ponsel yang berhasil membangunkannya sepagi ini. Pukul 04:35. Cepat-cepat gadis itu masuk ke dalam bilik kamar mandinya. Mandi--kemudian melaksanakan ibadahnya.

Saat dalam salatnya, pun, kedua matanya masih susah untuk membuka dengan sempurna. Pengin terpejam terus bawaannya. Sekitar 5 menit selesai, Shaula memandang dirinya di depam cermin.

Wajahnya terlihat lebih cerah, tetapi terasa kaku. Lihatlah, kedua matanya tampak sembab.

Remaja perempuan itu mendesis pelan, "Kenapa jadi gini, sih." Itulah sebabnya habis menangis langsung tertidur.

Ia yakin, pasti akan ditanyai lagi oleh Larissa. Ini yang kedua kalinya! Lalu, Shaula membuka pintu kamar. Di ruang makan, terlihat Bunda sedang menyiapkan sesuatu.

"Shaula, kamu udah bangun? Udah salat? Mandi?" Shaula hanya mengangguk sebagai jawaban.

Entahlah, ia merasa perasaannya belum begitu balik seperti semula. Pagi-pagi sudah badmood, dasar. Namun, Audra, wanita itu terlihat mudah berubah. Shaula melirik Bundanya yang tersenyum merekah. Ada rasa bersalah dalam hatinya.

"Maaf, Bun," dua kata itu terlontar dari mulut Shaula secara tiba-tiba.

Bunda yang tengah mengaduk nasi, berhenti. Wanita itu mendekat ke putrinya. Mengusap kepala Shaula, tak lama, membawanya dalam dekapan. Jujur, sudah lama rasanya Shaula tidak diperlakukan seperti ini.

Bagaimana dengan kalian?

"Bunda juga minta maaf."

10 jam yang lalu....

"Shaula?!" gadis itu tersentak tatkala, baru saja Bundanya bersuara keras.

Reflek ia menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Kemudian diambil alih oleh Audra. Kening Bundanya mengernyit, ketika membaca nama sang penelepon yang tertera pada layar ponsel. Dengan cepat wanita itu memecet tombol untuk mematikan sambungan. Membuat orang di sana, jadi kebingungan, dan kuatir apa yang sedang terjadi pada anak perempuannya, di sini.

Mata Shaula terbelalak, ikut beranjak dari duduknya. Berdiri, dan bertanya-tanya.

"Kenapa, sih, Bun?" raut wajahnya cemas.

"Kamu yang kenapa?" sergah Audra.

Shaula menghela napasnya pasrah, sembari memijat pangkal hidungnya. Kemudian berkata, lagi. "Bunda yang kenapa? Aku cuma telepon sama Ayah, kok. Memangnya salah?"

"Shaula, Bunda cuma--"

Katakan saja Shaula tidak sopan pada orang tuanya sendiri. Anak remaja yang belum bisa mengendalikan rasa kesalnya itu memotong ucapan sang Bunda.

"Kenapa? Kenapa harus kayak gitu? Segitu bencinya Bunda sama Ayah? Bun, aku juga anaknya." sela Shaula, dengan suara yang agak tersendat karena menahan sesak di dada.

Ingin Shaula melanjutkan ucapan, yang selalu terngiang meminta untuk dilontarkan. Seharusnya, Ayah yang membenci Bunda. Bunda sendiri yang pertama menumbuhkan percekcokan di antara keluarganya, pikir Shaula. Sungguh, ia urung untuk mengatakan hal itu.

Bisa-bisa, ia dikatakan sebagai anak durhaka. Shaula memandang Audra dengan tatapan nanar.

"Semenjak beberapa bulan yang lalu, Bunda dan Ayah pisah, aku sama sekali belum ketemu Ayah. Aku kangen, bagaimana pun, Ayah itu tetap orang tua aku," tutur Shaula.

"Iya, semenjak beberapa bulan yang lalu pun, Ayah kamu udah punya keluarga baru," balas Bundanya, membuat Shaula bergeming sejenak.

"Dari mana, Bunda tahu itu?" kepala gadis itu terangkat ke atas.

LEGIO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang