36. Perihal Hati

44 19 0
                                    

Perginya orang tersayang, tentu saja membuat Shaula merasa sangat sedih. Sampai sekarang, ia tak percaya sepenuhnya, bahwa Bunda telah meninggalkannya lebih dulu, dan tidak akan kembali lagi. Coba saja, kalau Bunda tidak berangkat kerja dan pulang malam, pasti tidak akan terjadi, pikirnya.

Mau dibagaimana pun juga, jika memang takdir, ya sudah. Tidak ada yang bisa menentang.

Saat ini, gadis itu duduk di sisi ranjangnya. Kedua tangannya memegang foto berbingkai. Foto yang sempat ia pegang malam itu sebelum ke rumah sakit. Shaula merasakan hal ini yang entah ke berapa kali. Kehilangan.

Kamarnya sepi, hanya ada suara detak jarum jam dan embusan napasnya. Shaula tersenyum tipis, saat jemarinya mengusap foto berisikan tiga orang tersebut.

"Kalo Bunda nggak ada, Shaula sama siapa?" monolognya.

Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar, membuat Shaula segera mengusap kedua matanya. Menghapus jejak bulir bening.

"Sha, makan dulu, yuk? Kamu belum makan dari sore." Ayah menghampiri putrinya, tersenyum mengembang lalu ikut duduk di sisi Shaula. Ayah mengusap pucuk kepalanya. Sungguh, Shaula tidak lama merasakan ini.

"Shaula nggak lapar," balasnya, tanpa ekspresi.

"Masa? Bohong sama orang tua, dosa. Ayo, makan. Nanti kamu sakit. Memangnya mau, Bunda di sana sedih, gara-gara lihat kamu nggak mau makan?" Akhirnya Shaula menyetujui. Berjalan keluar kamar dan ke meja makan.

Kala itu, meja makan ini selalu dipenuhi dengan keasyikan. Makan malam bertiga, Bunda yang menyendokkan nasi untuk Ayah, begitu pun pada Shaula. Terkadang, sambil makan, juga mengobrol. Entah itu tentang masalah pekerjaan Ayah di kantor, atau sekolah Shaula dan Bunda yang menceritakan beres-beres rumah se-capek apa.

Iya, itu dulu.

Seketika berubah, Ayah sudah tidak di rumah ini lagi. Shaula dan Bunda hanya berdua. Dan sekarang, hanya ada Shaula dan Ayah.

Selama tujuh hari setelah kepergian Bunda, Shaula menjalani hari-hari seperti biasa, namun sesekali bersedih sewaktu mengingat Bunda. Beruntung, ada Maramma, Larissa, Elio dan teman-teman lain yang selalu mengsupportnya.

Setiap hari, Ayah datang ke rumah ini untuk menitipkan uang jajan atau sekadar membawakan makanan untuk putrinya. Ayah sama sekali tidak pernah menginap, Shaula ingin bertanya tetapi ia urung akan hal itu.

Suara dentingan sendok terdengar, saat gadis itu sudah menghabiskan makanannya. Meneguk air putih setengah gelas, sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan yang hampir membuat sang Ayah tersedak.

"Kapan aku ketemu keluarga baru Ayah?"

Yang ditanya berdeham pelan, "Kamu beneran udah siap?"

Shaula mengangguk antusias.

"Shaula mau ikut Ayah. Shaula mau kenalan sama keluarga Ayah, biar nggak kerasa sepi."

"Ya sudah, besok, mau? Nanti, kamu beres-beresin baju-baju kamu. Bawa barang-barang yang kamu perluin," balas Ayahnya.

"Maksudnya ... Shaula tinggal di sana?"

"Katanya mau ikut Ayah?"

"Ya, tapi--"

"Tenang, kamu nggak sampai pindah sekolah. Kan, sudah satu sekolah sama saudara kamu, nanti."

Tidak usah pindah sekolah? Anak dari keluarga baru Ayah ada di sekolahnya? Hah, siapa? Di mana? Di kelas apa? Apakah Shaula pernah mengenalnya? Shaula bergeming mencerna penuturan Ayah.

"Boleh kasih tau sekarang, Yah?" tanyanya, ragu.

"Besok, kamu pasti tau."

Shaula menghela, "Siapa sih, Yah? Dia beneran satu sekolah sama aku? Kira-kira, dia dekat nggak sama aku? Cewek atau cowok?"

LEGIO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang