39. Mimpi yang Nyata

34 18 0
                                    

"El, ini Shaula mantan pacar kamu yang itu, kan? Shaula, kamu pernah ke sini sebelumnya." Lyra melontarkan ucapannya. Gamma masih bergeming, apa lagi saat Lyra mengatakan bahwa Shaula dan Elio ada kata 'mantan pacar'.

Sedangkan dengan kedua remaja itu sendiri sama-sama belum membuka suara. Elio mengembuskan napasnya, menoleh pada sang Mama. Seolah, ia meng'iya'kan apa yang diucapkan Lyra memang benar adanya.

Shaula sendiri, entah mengapa ia merasakan rasa sesak menyeruak di dadanya. Ia ingin menangis.

"Shaula, Elio, kalian sudah saling kenal?" tanya Gamma.

Elio mengangguki pertanyaan tersebut.

"Jadi ini, maksud Ayah yang anak baru di sekolah aku? Elio? Kita satu kelas, bahkan," ujar Shaula.

"Aku senang. Ternyata Elio dan Tante Lyra. Bukan orang lain." Ketiga orang itu terkejut mendengarnya. Lain lagi dalam hati, sebenarnya Shaula tidak sepenuhnya senang, seperti yang dikatakan lewat ucapan. Shaula hanya tidak mau, Gamma berpikir yang tidak-tidak.

"Shaula," panggil Ayahnya.

Kini, Shaula tak merunduk lagi, netranya menatap orang-orang itu secara bergantian. "Nggak apa-apa, Yah. Mungkin memang udah jalan-Nya. Shaula terima, Shaula senang, selagi Ayah juga senang."

Lyra berdiri, berpindah tempat di samping Shaula. Wanita itu mengusap punggungnya, "Shaula, tante nggak nyangka. Dunia memang sempit, ya. Apa, kamu beneran terima? Nggak marah? Hubungan sama Elio baik-baik aja, kan?" Ia melirik putranya sebentar.

Meski kelu, Shaula tetap membalas ucapan Lyra, "Nggak mungkin Shaula nggak terima. Kalian semua orang baik, Shaula bersyukur."

Senyum Lyra dan Gamma mengembang saat Shaula berkata demikian. Elio menatap Shaula ragu-ragu, sebelum akhirnya beranjak bangun guna mengantar Shaula ke kamar yang sudah di sediakan oleh sang Mama.

"Udah, sana, antar. Pasti Shaula capek, habis pulang sekolah, beres-beres langsung ke sini. Oh, iya, sekarang Shaula jangan panggil 'tante' lagi. Tapi, Mama, oke? Biar samaan seperti Elio." ujar Lyra panjang lebar.

"I-iya, Ma." Tiba-tiba saja Lyra memeluk tubuh kurus Shaula. Membuat gadis itu membeku.

"Sekarang kita, keluarga."

Sesampainya di lantai dua, Elio membukakan pintu kamar untuk Shaula. Kamar dengan cat warna putih yang masih sangat-sangat sepi. Belum ada pernak-pernik apa pun di dalamnya.

Shaula menghela napas, Elio ikut masuk sembari membawakan tas yang berisi barang-barang gadis itu. Sumpah, Elio ingin berucap, tetapi lidahnya terasa kelu.

"Sha, maaf." 

Shaula yang sudah duduk di tepi ranjang, mendongakkan kepala melihat Elio yang masih berdiri. Saat ini, Shaula tidak butuh apa-apa. Ia hanya ingin mengeluarkan segela kekesalan, bahagia, terkejut dan lainnya yang bercampur menjadi satu dalam tangisan.

Gadis itu terisak, tangannya meremat seprai yang tampaknya masih baru. Cairan bening lolos dari pelupuk matanya. Membasahi pipi yang terasa kering.

Elio dengan segala rasa simpatinya, mendekat dan ikut duduk di sebelah Shaula. Elio memegang kedua bahu Shaula, memutarnya agar berhadapan langsung.

Lagi, Elio mengatakan yang sama.

"Shaula, maaf...." 

"Lo nggak perlu minta maaf." Shaula mengedikkan bahunya guna menepis tangan Elio. Namun tidak bisa, karena cowok itu memegangnya lebih kuat.

"Maaf. Maaf karena gue nggak bilang ini dari awal."

"Lo nggak perlu minta maaf!" tegas Shaula, dengan suara yang lebih tinggi. Tetapi gelagat Elio sama sekali tidak panik, karena suara Shaula tidak akan terdengar sampai bawah.

LEGIO [✔]Where stories live. Discover now