52. Ini Bukan Akhir

113 24 5
                                    

Namanya juga takdir. Memang benar ya apa yang orang-orang katakan. Yang mulai pasti akan berakhir, yang datang pasti akan pergi. Dari yang selalu senang, menjadi murung setiap malam. Dari yang selalu merasa jantung berdetak cepat ketika bertemu, kini sama-sama tak saling bertegur sapa. Jangankan itu, untuk memandang lebih lama pun tampaknya sudah tidak bisa.

"Sha! Kayaknya lo memang ditakdirkan sebagai pejuang move on, deh." Larissa mencibir sembari menyeruput minuman di tangannya.

Shaula memutar bola mata malas mendengar itu. Ia lantas semakin mempercepat langkahnya menuju keramaian yang ada di lapangan sekolah.

Setelah kurang lebih satu minggu menjalani ujian semester ganjil, kini semua warga SMA Centauri dapat menghirup udara lebih bebas tanpa memikirkan hapalan atau materi yang akan muncul. Meski begitu, rasa deg-degan juga pasti ada seiring berjalannya waktu, pembagian rapor semakin dekat.

"By the way, lo beneran udah nggak ada hubungan apa-apa lagi gitu, sama Maramma?"

Shaula mengibaskan tangannya, "Udah berapa kali lo tanya, udah berapa kali gue jawab sama. Nggak ada, Larissa. Kalo lo sama Janus, gimana?"

Sembari berjalan mereka asyik berbincang. Larissa menjawab pertanyaan Shaula, "Baik. Baiiikk bangeett! Meski ya, kadang gue kesal aja Janus lebih prioritasin basket terus. Tapi nggak apa-apa. Gue beruntung banget kenal Janus dan ... ya, gitu. Ah, pokoknya Janus benar-benar beda dari mantan-mantan gue sebelumnya!"

Tawa Shaula mengudara, "Iya, sih. Pikir gue juga seperti itu. Pantas, hubungan lo awet, nggak seperti kemarin-kemarin. Sering gonta-ganti gebetan dan pasangan."

Langkah mereka membawa ke tengah lapangan. Ya, lahan luas itu kini dijadikan pameran lukisan. Tentunya oleh anak-anak klub seni lukis. Dari kejauhan Shaula melihat Rani yang sedang menata beberapa kanvas cantik itu. Ia semakin mempercepat derap, diikuti dengan Larissa.

"Ih! Gue cariin lo dari tadi tau, nggak? Habis ke mana?"

"Ke kantin. Nih, gue sengaja beli minuman lebih. Buat anak-anak yang lain, juga boleh." Shaula mengangkat tentengan di tangannya. Rani mengambil satu botol minuman berasa. Dengan ucapan terima kasihnya.

"Gue senang banget! Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba juga. Cuacanya juga mendukung. Nggak mendung dan nggak terlalu panas." tuturnya, sembari mendongak ke atas.

Pukul 14:15, mulai banyak lagi beberapa orang yang datang. Sebagian warga sekolah, ntah memang untuk melelang atau melihat-lihat sekadar cuci mata.

"Wah, seru, ya? Lukisannya juga cantik-cantik," komentar Larissa.

Rani mengangguk setuju, "Ya, iya lah! Lo, sih, nggak ikut kita masuk klub seni lukis. Padahal, waktu itu udah pernah ditawarin."

"Haha! Gue nggak ada bakat lukis. Gambar juga cuma bisa gunung, sawah, dan rumah," balas Larissa, sembari terkekeh pelan. Kemudian gadis berambut panjang itu meninggalkan Shaula dan Rani guna melihat lukisan-lukisan lain yang terpampang.

Shaula menguap beberapa kali. Memang, semalam ia begadang karena tidak bisa tidur. Alhasil saat ini, matanya tampak lelah. Rani tiba-tiba saja menyenggolnya, membuat Shaula hampir oleng.

"Lo lihat, Maramma? Dari tadi nggak kelihatan tuh, si ketua. Gimana, sih ... gue kirim pesan cuma ceklis dua nggak dibalas!" Rani menunjukkan sederet pesan yang dikirimkan untuk Maramma, pada Shaula.

Gadis itu mengangkat bahu acuh tak acuh, Rani memandang heran dengan kening mengerut dalam. "Beneran? Eh, tapi ... lo memang udah nggak dekat lagi ya, sama Ramma? Pertemuan terakhir ekskul kemarin juga, lo berdua jauh-jauhan. Jangan gitu, dong. Nggak enak tau dilihatnya."

LEGIO [✔]Where stories live. Discover now