29. Anka Hydra

46 16 1
                                    

Mahina berbaring di ranjangnya, dengan kompresan kain yang menempel pada kening. Setelah kelelahan mengikuti ekstrakurikuler ditambah dengan pulang dalam keadaan hujan, tiba-tiba saja membuat kondisinya drop seketika.

Gadis itu berusaha memejamkan matanya, meskipun suara perseteruan semakin menyeruak dalam telinga. Mama dan Papa-nya ada di hadapan Mahina saat ini.

"Sudah berapa kali, Papa bilang. Berhenti ikut-ikut cheerleaders. Apa manfaatnya? Bakalan jadi apa kamu nantinya?" Lelaki paruh baya itu memijat pelipisnya yang terasa pening.

"Pa, udahlah, biarin Mahina jalanin apa yang dia suka," Alula Mama-nya, mengusap bahu sang suami. Berusaha menenangkan, dan menjelaskan agar pikirannya lebih terbuka.

Bukan apa, Nash berkata demikian hanya kuatir dengan kondisi anaknya, Mahina. Ini bukan yang pertama kalinya Mahina drop karena kelelahan. Bahkan dari pertama SMP, gadis itu tetap kukuh ingin mengikuti ekstrakurikuler tersebut.

"Besok Papa carikan bimbel terbaik di daerah sini. Kamu udah kelas 11, harus banyak fokus belajar untuk persiapan kelas 12 dan seterusnya. Papa mau lihat kamu masuk 3 besar tahun ini. Bukan seperti kemarin-kemarin yang cuma sampai 5 besar." tegas lelaki itu.

Alula tidak bisa mengatakan apa-apa lagi setelah mendengar keputusan final sang suami. Wanita itu kembali menempelkan kompresan pada kening Mahina.

Sebelum keluar dari kamar anaknya, Nash kembali berujar, "Besok undurin diri kamu dari ekskul itu." Pintu kamar yang ditutup, cukup menimbulkan suara yang lumayan keras.

"Ma?"

"Nggak apa-apa, ya? Kamu nurut apa kata Papa oke?" Alula mengusap lengan Mahina yang terasa hangat. Sebelum ikut keluar dari kamar, wanita itu menyelimuti Mahina dengan selimut tebal sampai batas dada.

Mahina mendelik pada tangan kanannya yang  terpasang selang infus. Netra obsidiannya menatap langit-langit kamar yang redup. Gadis itu berusaha memejamkan matanya. Berusaha menutup telinga, agar dapat tertidur tenang tanpa adanya suara gemercik air hujan di luar sana.

Sedangkan di sisi lain, Shaula hampir saja tersedak ludahnya sendiri, akibat tak sengaja membaca sederet pesan dari Elio lewat layar notifikasi.

Elio: Besok libur. Jalan, yuk?

Shaula berpikir sejenak untuk membalas pesan tersebut. Kenapa pesan Elio yang masuk, ya? Pikirnya.

Shaula: Nggak bisa, besok jadwalnya beres-beres rumah, nih. Bukannya besok ada ekstrakurikuler bakset, ya. Lo ikut kan?

Elio: Oh, ya? Hampir lupa. Minggu aja, gimana?

Gadis itu menepuk keningnya sendiri.

Shaula: Nggak tau, deh. Kayaknya ada janji. Lihat nanti aja, ya...

[Read]

Shaula menghela napas lega. Gadis itu berkata maaf dalam hatinya. Sebenarnya, Shaula mau-mau saja, tetapi ... niatnya saat ini ingin move on dari sang mantan, bukan? Dengan menjaga jarak seperti ini, mungkin misi-nya akan berhasil.

Suara deringan dari ponsel terdengar, Shaula reflek mengklik tombol hijau tanpa membaca nama kontak si penelepon.

"Hallo?"

"Kapan mau jadi pacar gue?"

Shaula berhasil dibuat bergeming oleh sederet kalimat pertanyaan yang dilontarkan orang di sana. Gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung lebih tegap.

"Hallo?" Suara berat Maramma kembali masuk dalam telinganya.

"Ha-hallo? Iya?" sahut Shaula, gugup.

LEGIO [✔]Where stories live. Discover now