35. Kehilangan (lagi)

43 20 0
                                    

Shaula sudah menghubungi Maramma sedari tadi, namun tetap teleponnya tak diangkat. Pesan-pesannya pun, tak terbalaskan. Padahal, berdering dan berceklis dua abu-abu.

Jadilah saat ini, sekarang Shaula mengenakan baju rajut tebal, guna menghangatkan udara angin malam yang dingin, ditambah gemercik gerimis. Duduk diboncengan Yerikho. Gadis itu terlalu panik, sempat berpikir menghubungi Ayah, nanti malah mengganggu.

"Sha, gue kebut, ya? Pegangan!" Shaula mengangguk, mencengkram ujung jaket Yerikho. Yang katanya, sempat dipakai Mahina.

Shaula menahan untuk tidak menangis saat sekarang. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Lampu jalanan Ibu Kota dapat menyorot raut wajahnya yang sedih. Shaula terus merapalkan doa dalam hati. Semoga Bundanya baik-baik saja.

Ia harap pula, ini adalah mimpi.

Namun sepertinya tidak, Yerikho memarkirkan motornya di lahan yang tersedia. Mereka berjalan beriringan memasuki gedung dengan bau obat yang lumayan menyengat. Shaula menanyakan di mana ruangan Bunda.

"Nomor 82, di lantai dua."

Shaula mengangguk, entahlah, tiba-tiba saja tangannya mengambil lengan Yerikho untuk ikut dengannya. Jari lentiknya memencet tombol lift.

"Lo harus tentang. Positif thinking aja, ya? Gue yakin, Bunda lo nggak kenapa-kenapa." Yerikho menepuk bahu Shaula.

Dengan langkah cepat dan napas yang memburu, mereka berjalan melewati lorong hingga sampai pada ruangan yang dituju.

"Duduk dulu," Shaula mengangguk, duduk bersebelahan dengan Yerikho.

"Gue nggak tau mau ngomong apalagi. Intinya, makasih banget, lo udah mau bela-belain jemput dan antar gue ke sini, malam-malam," tutur Shaula.

Bagaimana tidak, Yerikho segera menuju ke rumahnya saat Shaula telepon. Cowok itu sama sekali tidak beralasan apa pun.

"Sama-sama. Kita, kan, teman. Harus saling tolong-menolong. Bukan begitu?" ujar Yeirkho setengah bertanya.

Shaula mengangguk. Yang dilihat oleh kedua mata Yerikho, gadis di sebelahnya ini tampak sedang menahan tangis. Matanya sudah memerah. Ekspresinya ... ya, jangan ditanyakan lagi. Semrawut.

"Nangis aja, Sha, nggak apa-apa."

"Sorry, memangnya orang tua lo--ah, maksudnya Ayah lo, ke mana? Udah dihubungin belum?" tanya Yerikho hati-hati.

Shaula menggeleng pelan, "Nanti ganggu. Biarin aja."

"Jangan gitu, Sha. Kasih tau sekarang, ya? Atau sini ponsel lo, gue yang telepon." Yerikho mengadahkan tangannya. Shaula pasrah, ia menyodorkan ponselnya pada Yerikho. Saat itu juga, cowok yang bersebelahan itu yang berbicara dengan orang yang di sambungan telepon.

Setelah menghubungi Ayah Shaula, Yerikho mengembalikan ponselnya, "Ayah lo mau ke sini."

Sudut bibirnya terangkat. Sekali lagi, Shaula mengucapkan kata yang sama, "Makasih."

Yerikho sampai bosan mendengarnya.

"Sha, lo nggak kasih tau Maramma?"

"Pesan gue aja belum dibales, padahal--"

Ucapatan Shaula terputus, tatkala keduanya menoleh saat bunyi pintu ruangan terbuka. Menampakkan sosok lelaki dengan pakaian putih ber-jas. Disusul dengan suster-suster yang telihat mendorong brankar untuk keluar.

"Bunda?" Shaula beranjak bangun. Dengan wajah penuh tanda tanya.

Satu hal yang membuat Shaula semakin merasa hancur. Dokter mengatakan bahwa Bundanya akan dipindahkan ke ruang ICU, karena kondisinya yang kritis.

LEGIO [✔]Where stories live. Discover now