49. Usai dan Pergi

48 18 1
                                    

"Yerikho, sumpah! Bercanda lo nggak lucu?!" Hoku memandang satu temannya itu dengan tatapan tidak percaya. Sedari tadi ia berjalan mengelilingi Yerikho yang tengah berdiri di antaranya dan Janus. Sudah hampir satu jam tiga remaja itu berbincang di kafe yang biasa dikunjungi. Namun kali ini, tidak dengan seorang Maramma.

Hoku berkata demikian karena cukup terkejut akan lontaran kata yang Yerikho ucapkan. Ia bilang ... setelah ujian semester dan pembagian rapot akan pindah sekolah. Yang benar saja? Itu artinya mereka akan berpisah.

Janus memijat pelipisnya--kemudian meminum sebotol air mineral dingin. Yerikho menghela napasnya, duduk dengan posisi menyandarkan punggung.

"Ck! Gue nggak bohong. Tanya Papa gue kalo nggak percaya," ujar Yerikho, menanggapi apa kata Hoku.

Janus memandangnya dengan serius, "Tanggung kali. Semester dua, terus satu tahun lagi lulus. Cuma di Bandung, kan? Nggak perlu ikut pindah juga kali, Yerikho. Kecuali memang menetap."

"Ya, memang menetap. Mau sesibuk apa pun kedua orang tua gue, bahkan mungkin hampir lupa saking banyaknya kerjaan. Gue harus turutin apa mau mereka." Keningnya mengerut. Embusan napasnya kembali terdengar. Yerikho menyeruput minuman yang dipesan.

Selama beberapa detik, Janus dan Hoku saling melempar pandang. Padahal niat mereka berdua menemui Yerikho adalah untuk meluruskan masalahnya salah pahamnya dengan Maramma. Tetapi, ia malah tampak santai-santai saja, dan itu membuat Janus, Hoku kesusahan.

Memang ya. Namanya juga berteman lama--sahabat. Sekalinya ada masalah, bisa berdampak buruk seperti ini.

Hoku menopang dagu dengan tangan kanannya, "Jangan-jangan, lo nggak mau temanan lagi ya sama kita-kita. Terus, lo pergi gitu aja tanpa kasih tau antara lo sama Shaula yang jelas-jelas buat Maramma, marah. Mana Yerikho yang gue kenal? Dia nggak gampang buat nyerah."

Yerikho mendesis samar, memandang Hoku dengan tatapan malas, "Gue sama Shaula nggak ada apa-apa. Gue mau coba jelasin, si Ramma malah kayak gitu. Dia berlebihan. Padahal belum tau, kan, yang sebenarnya tuh seperti apa?"

"Karena dia benar-benar suka sama Shaula. Maramma gitu kalo udah kecewa." jawab Janus, dengan nada yang terdengar agak sarkas.

"Seharusnya dia dengarin dulu apa yang mau gue dan Shaula jelasin. Seenggaknya jangan diam-diaman. Lihat, sekarang Ramma dekat sama Mahina, kan?"

"Ya. Lo jealous?" tanya Hoku, to the point.

Setelahnya, Yerikho tak lagi membuka suara. Entah, ia pun masih tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Lisan mengatakan bahwa ia akan melupakan sosok Mahina dan tak lagi mengejarnya. Tetapi jauh dalam lubuk hati ... Yerikho juga tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

Yerikho Aileus. Ya, ia tau bahwa Mahina adalah sebuah angan yang selalu menjadi kenang. Melupakan memang tak semudah dengan apa yang dilontarkan lewat kata. Jangan katakan Yerikho seorang pengecut tidak berani memperjuangkan. Yerikho adalah sosok yang kuat. Sebab, orang yang dicintainya, menyukai sahabatnya sendiri.

Rumit sekali kisah cinta para pemuda-pemudi zaman sekarang.

Lagi, giliran Janus membuka suara. "Kalo lo memang benar-benar mau pergi, sekarang ngalah. Lo minta maaf dan jelasin mulai dari awal kenapa lo dan Shaula bisa terikat dalam timbal balik yang terdengar konyol itu. Perasaan bukan untuk dimainkan."

Hoku mengangguk setuju akan saran Janus. "Iya, Yerikho. Gue di sini nggak mihak ke siapa-siapa. Kalian berdua teman gue. Bagaimana dan apa pun masalahnya, kita harus selesaikan bersama secara baik-baik. Dengan kepala dingin, bukan adu jotos apa lagi diam-diaman kayak cewek PMS kalo lagi badmood." Kalimat akhirnya dibarengi dengan tawa yang mengudara.

Di sisi lain, Shaula dan teman-teman berada dalam satu ruangan luas yang dipenuhi beberapa orang. Pallet di mana-mana, kanvas besar terpajang rapi, dan itu membuatnya menghela napas panjang saat melihat satu per satu.

Yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hasil dari kurang lebih lima bulan sudah menunjukkan hasil karya yang tampak memikat untuk siapa pun yang melihat. Beberapa saling bertepuk tangan memandang lukisan yang dibuat perkelompok.

"Akhirnya! Gila, capek kita selama ini menampilkan sesuatu yang indah!" Kata Rani, hiperbola.

Shaula menanggapi itu dengan kibasan tangannya. Berbeda dengan Maramma yang masih duduk berdiam diri tanpa menunjukkan ekspresi kagumnya.

"Ram, Ram! Bilang 'wah' kek, atau apa gitu. Ini kan, buatan lo dan Shaula," tutur Rani, sembari menunjuk lukisan yang berada tak jauh dari Maramma.

"Kelompok." Maramma meralat ucapan Rani.

"Ibu ucapkan terima kasih banyak untuk kalian semua yang sudah berpartisipasi. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian semester. Setelahnya, baru kita adakan pameran seperti tahun-tahun sebelumnya." Bu Shila tersenyum merekah pada semuanya--kemudian melirik jam tangan yang dikenakan, "Oh ya, Ibu ada janji sama seseorang. Habis ini, kalian istirahat saja. Setelah itu, baru boleh pulang."

Satu per satu orang-orang di ruangan itu mulai beranjak dan keluar. Begitu juga dengan Rani yang tiba-tiba meringis sembari memegangi perutnya.

"Eh, Sha? Gue--gue ke itu dulu, ya! Lo di sini aja nggak apa-apa. Nanti gue beli air mineral sekalian." Gadis itu berlari begitu saja.

Shaula terdiam beberapa detik.

Tersadar saat ada suara gesekan di lantai. Menoleh pada Maramma yang tengah menggeser meja.

Sampai hari ini ... keadaannya masih sama.

"Maramma?" Walau ragu, Shaula tetap memberanikan diri. Seorang yang disapa menoleh dengan kening yang mengerut.

"Sampai kapan gini terus? Oke, aku jelas--"

"Nggak perlu."

"Kenapa? Kamu harus tau, kamu salah paham. Apa yang ada dalam pikiran kamu itu nggak seratus persen benar. Jadi, aku minta kamu dengarin aku sekarang. Semuanya bakalan aku ceritain mulai dari awal," ujar Shaula.

Maramma kembali mengulang pernyataannya, "Nggak perlu."

"Mara--"

"Sha--"

"Maramma. Aku sama Yerikho beneran nggak ada apa-apa. Memang, waktu itu aku nggak pakai pikir panjang, karena yang aku mau itu bagaimana cara lupain Elio. Ya, alasan aku tolak kamu waktu itu karena belum ada rasa. Setelah aku terima, ternyata memang belum ada juga. Tapi, kamu harus tau ... lambat laun rasa itu muncul, Ram. Maaf, kalo kamu sakit hati karena ucapanku yang terima kamu karena kasihan. Maaf, kalo kamu anggap aku jadiin kamu pelampiasan."

Shaula menarik napasnya dalam-dalam, "Sekarang, bahkan dari hari-hari sebelumnya. Aku benar-benar ada rasa buat kamu. Maaf--"

"Cukup. Jangan minta maaf. Bosan." potong Maramma.

"Udah, kan? Jelas. Sangat jelas." Maramma melangkah maju mendekat pada Shaula yang merubah pandangan ke bawah.

"Sekarang, semuanya udah selesai, Sha." Embusan napas beratnya terdengar. Kalimatnya barusan membuat Shaula kembali mendongak dengan raut wajah penuh tanda tanya.

"Ram ... apa iya harus se--"

"Maaf, Shaula."

"Maramma, lo harus tau kalo sekarang rasa ini benar adanya! Cuma buat lo. Bukan Yerikho apa lagi Elio. Jadi--"

"Sha ... udah, ya? Kita sampai di sini aja."

Rani menelan salivanya susah payah saat melihat drama itu dari ambang pintu.

***

Terima kasih sudah membaca



Sebentar lagi end hauahauhaua

LEGIO [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang