48. Maramma & Mahina

35 18 0
                                    

"Seminggu lagi kan, udah mau PAS. Minggu ini, minggu terakhir kita beres pengecatan karya perkelompok. Terus ujian. Habis itu, kita pameran! Sekarang kita yang jadi Kakak pemimpin. Nggak sabarnya!" Shaula mengembuskan napas berat, mendengar penuturan Rani yang bersemangat.

Entah, dari pagi tadi sampai pulang sekolah, rasanya Shaula malas untuk berinteraksi lebih dengan orang-orang di sekitar. Saat bel pulang berdering, Shaula kira yang menunggunya di depan pintu adalah Maramma. Namun salah, ternyata Rani, si tetangga sekaligus teman satu ekstrakurikuler.

"Udah konfirmasi sama Pak Pramono atau Bu Shila?" Gadis itu bertanya.

Rani malah menyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya, "Belum, sih. Hm, dananya juga, pasti nggak cukup-cukup banget. Nanti kita bilang ke Pak Pramono, biar Pak Mahardika nyumbang lagi."

Sudut bibirnya terangkat, Shaula tersenyum simpul. Pak Mahardika yang Rani ucapkan tak lain adalah Ayah-nya Maramma si donatur SMA Centauri saat ini. Tetapi ketika mengingat Maramma, Shaula hampir tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Semenjak kejadian pagi tadi di parkiran, itu terakhirnya kalinya gadis itu melihat sang kekasih. Shaula tidak pergi ke kantin, toh ... Maramma tidak akan menunggunya, kan? Jadi, buat apa.

"Saran gue, mending nggak usah. Dana, kita kumpul aja dari anak-anak sekolah," balas Shaula.

"Aduh, Sha. Kapan lagi coba? Mumpung Maramma sendiri ketua ekskulnya. Lo sekretaris tinggal catat kegiatan kita apa aja. Kalo masalah uang, biar gue yang urus sebagai bendahara!" Hampir melupakan, bahwa Maramma memang ketua ekstrakurikuler yang terpilih, lewat wajah rupawannya.

"Ya ... terserah, deh. Gue ngekor aja. Yang penting, sabtu besok harus udah kelar semua. Biar nggak jadi beban pikiran lagi. Sebentar lagi ujian," tutur Shaula.

Rani menepuk bahunya, "Santai kali, Sha. Serius-serius amat, sih. Baru ujian semester satu. Bukan kelas dua bel--"

"Santai-santai. Kelas sebelas bukan lagi waktunya untuk santai, Ran. Belajar, buat nanti ke depan, alias kelas dua belas yang bakalan lebih ribet dan sibuk." Tawa Rani mengudara, membuat Shaula mendengkus samar. Serius, kali ini Shaula tidak ingin bercanda, karena mood yang kurang baik.

"Iya, deh. Percaya, yang selalu masuk juara kelas! Btw, kenapa dulu lo nggak masuk IPA aja, sih? Lo bakalan dipandang lebih wah. Apalagi, kalo pinter. Circle- nya bukan main. Nggak kayak gue, teman satu-dua."

"Awalnya sih, gue pengin masuk IPA. Tapi, sepertinya itu kurang cocok dan gue udah nyerah duluan. Almarhum Bunda nggak larang tuh, waktu gue pengin masuk IPS. Katanya, ya terserah. Itu kan, kemauan sendiri. Kalo karena keterpaksaan, kitanya nanti jadi tertekan." Shaula berkata panjang lebar.

"Benar banget, please! Gue masuk IPA karena Mama yang mau. Padahal gue ... gue anti banget sama yang namanya hitung-hitungan. Kayak fisika, masa apel jatuh aja dihitung! Apalagi kimia, gila ... gue orangnya lupaan, ditambah hapalin tabel periodik! Gimana nggak mau pecah nih, kepala gue?"

Rani tampak mendramatisir, sampai beberapa orang yang berpapasan dengan mereka berdua di koridor memandangnya dengan bingung.

"Seriusan, gue bukan tombol. Tapi kok, rasanya tertekan!" lanjut gadis itu.

Shaula hanya geleng-geleng kepala, mendengar segala curhatan Rani sambil berjalan bersama. Hendak masuk jurusan IPA, IPS atau pun Bahasa, jika kita menjalaninya dengan senang hati, pasti akan terasa juga senangnya. Tidak perlu keterpaksaan, semua sama saja. Tergantung diri sendiri bagaimana belajarnya.

"Yaudah, pindah aja ke kelas gue, Ran. Biar kepala lo beneran pecah ditambah banyak hapalan."

Rani menghela napas panjang, beberapa meter lagi sampai di parkiran. Mereka hendak pulang bersama, karena Elio izin dengan Shaula bahwa cowok itu akan bertemu teman-temannya di SMA dulu, secara langsung sehabis pulang sekolah.

LEGIO [✔]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant