3

134 13 4
                                    

Sudah hampir delapan jam setelah
proses kuretase di lakukan, Zella
tak kunjung sadarkan diri. Biasanya hanya dalam waktu lima sampai enam jam saja masa pemulihan setelah kuretase di lakukan, pasien sudah bisa bergerak untuk duduk atau berjalan agar darah sisa sisa kuretase tidak menggumpal di dalam rahim yang bisa menyebabkan komplikasi. Jangankan untuk duduk, membuka mata saja belum. Hal ini membuat Ken dan yang lainnya di landa rasa panik luar biasa.

Saat ini Zella telah menempati kamar rawat inap dengan fasilitas ternyaman yang ada di rumah sakit itu. Sebagai seorang suami, Ken harus memperhatikan situasi dan kondisi sekeliling, karena akan sangat mempengaruhi proses kesembuhan Zella nantinya. Dengan penuh kelembutan, Ken menyeka tubuh Zella dengan air bersih pada bagian tangan, kaki, serta wajah secara bergantian agar Zella tampak lebih segar. Tak lupa ia menyisir rambut panjang Zella yang teruai secara perlahan. Berulang kali Ken menciumi wajah Zella, menahan bendungan air mata yang telah berkumpul di sudut sudut matanya saat melihat wajah sembab dam lebam akibat tamparan keras yang berulang kali dilayangkan pada istri tercintanya. Ken bisa membayangkan, betapa tersiksanya Zella saat menghadapi peristiwa yang masih terekam jelas di ingatannya itu.

"Kenapa Zella belum sadarkan diri juga, Ma?" tanya Ken pada Lucia
dengan suara lirihnya.

"Nanti kita tanyakan langsung pada dokter. Kamu sabar, kita terus berdoa untuk kesembuhan Zella," sahut sang ibu menenangkan.

"Sungguh biadab mereka. Tidak punya hati nurani, bahkan binatang pun tak akan berbuat sekeji ini." Mata sendu Ken beberapa kali mengaliri bulir bening di sudut sudutnya. Tak peduli orang mengatakannya cengeng sekalipun. Siapa yang tahan melihat orang yang teramat di cintai harus menerima penyiksaan fisik dan mental secara bersamaan hingga kehilangan kesadaran seperti ini? Rasanya, tidak ada yang sanggup. Di tambah lagi dengan fakta jika dirinya harus kehilangan calon bayi yang selamama dua tahun ini mereka dambakan. Hancur sekali hati Ken. Dia sudah bertekad dalam hati akan membalaskan dendamnya yang
membara.

"Selamat pagi," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan dari luar. Semua pandangan tertuju pada asal suara. Dengan cepat mereka semua menghapus jejak air mata yang masih tampak membasahi
pipi mereka.

"Pagi," sahut Lucia pelan. Dokter dan perawat itu mendekati ranjang pesakitan yang kini tengah di tiduri oleh Zella.

"Apa belum ada tanda tanda kesadaran bu Zella?" tanya dokter yang bertugas menangani kondisi
kesehatan Zella.

"Sampai saat ini belum dok," sahut Ken dengan kepala menggeleng.
Dokter spesialis kandungan itu mulai memeriksa kondisi tubuh Zella.

"Saya akan memberikan beberapa
obat untuk disuntikan pada Ibu Zella. Jika nanti melihat kondisi ibu Zella yang tiba tiba menggigil, gemetar atau kembali mengeluarkan darah yang banyak, tolong segera lapor pada perawat yang bertugas," ujar dokter
tersebut.

"Baik dok. Saya mohon lakukan apa saja untuk kesembuhan istri saya," sahut Ken. Dokter itu menganggukkan
kepalanya, lalu kembali berkata.

"Dan jika dalam waktu dua puluh empat jam ibu Zella belum sadarkan diri, terpaksa Ibu Zella akan kita pindahkan ke ruangan ICU untuk penanganan yang lebih intens." Dokter yang bernama Ririn itu pun menjelaskan dengan detail.

"Untuk sementara hanya itu saja, nanti perawat yang bertugas akan
rutin memantau kondisi pasien
setiap dua jam sekali," sambungnya.

"Baik dok terima kasih." ken melempar senyum tipis pada Dokter bernama Ririn itu.

"Kalau begitu saya permisi."
Dokter Ririn melangkah pergi meninggalkan ruangan berukuran besar yang di tempati Zella.

Sepasang iris sehitam tinta milik
Ken kembali menatap wajah istrinya, besar sekali harapannya untuk melihat sang istri untuk segera sadar. Tiba tiba mata yang sebelumnya terlihat sendu kini berubah menjadi tajam, rahangnya mengeras saat sesuatu mencoba mengusik pikirannya.

"Ma, aku minta tolong jaga Zella, ya." Menatap Lucia penuh harap. Lucia mengangguk pelan, lalu bertanya.

"Kamu mau kemana?" Ken tidak menyahut. Dia hanya menghela napas kasar. "Hubungi aku segera kalau terjadi sesuatu pada Zella." Kemudian, menoleh pada Zella sesaat, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang perawatan itu.

Kenandra mengemudikan mobil sport miliknya tanpa di temani siapa pun. Menyusuri jalanan ibu kota dengan sinar terik matahari yang semakin membuat amarahnya memuncak.
Tak cukup jauh. Hanya memakan
waktu kurang lebih delapan belas
menit mobil yang dikendarainya
kini telah terparkir rapi di halaman
sebuah gedung besar yang berdiri
kokoh di pusat ibu kota. Tanpa berniat mengulur waktu, Ken segera turun dari dalam mobil dan memasuki gedung besar itu.

"Selamat siang, ada yang bisa saya
bantu?" sapa ramah seorang perempuan menyambut kehadiran
Kenan dari balik meja resepsionis.

"Aku ingin bertemu Wira Mahesa."
Ken tanpa basa basi langsung
mengungkapkan tujuan kehadirannya di sana.

"Apa sudah membuat janji sebelumnya dengan Pak Wira?" tanya karyawan itu lagi. Ken menggeleng.

"Sampaikan saja kalau Kenandra ingin bertemu."

"Baik Pak, saya akan menghubungi
Pak Wira sebentar. Silahkan menunggu sebentar," ucap karyawan itu dengan sopan. Ken mengangguk dan segera berjalan ke arah sofa yang telah tersedia tak jauh dari meja
resepsionis.

Seraya menunggu, Ken mengeluarkan tablet miliknya untuk memeriksa data data pelaku penyekapan Zella yang baru saja di kirimkan oleh orang
kepercayaannya.

"Oh ... ternyata kau masih mengingatku?" Suara vokal Seorang pria yang berdiri di hadapan Ken berhasil mengalihkan tatapan Ken dari tablet yang ada di tangannya. Ken berdiri dari duduknya. Sudut
bibirnya terangkat.

"Kau ... tidak pernah berubah," ucap Ken. Ken dan pria dengan perawakan
besar tinggi itu saling berjabat tangan.

"Apa kau sehat, Om Wira?" tanya
Ken menatap pria yang di sapanya
Om Wira tersebut.

"Apa kau bercanda?" Menaikkan sudut alisnya. "Apa aku terlihat
seperti orang yang sedang sakit?"
tanya laki laki yang bernama Wira.

"Ya, sepertinya kau terlihat lebih
sehat dan tampan dari terakhir kali
kita bertemu." Ken terkekeh pelan.
Laki laki berusia sekitar empat puluhan itu mengangguk seraya
menepuk pundak Ken.

"Ayo kita masuk ke ruanganku,"
ajaknya pada Ken. Keduanya segera memasuki sebuah ruangan yang cukup besar dan di lengkapi dengan beberapa peralatan pendukung di dalamnya.

"Jadi, apa yang membuatmu menemuiku? Setelah beberapa
tahun terakhir tidak pernah menghubungiku?" tanya Wira. Jujur saja, Ken merasa tertampar dengan pertanyaan telak yang diajukan oleh Wira. Ya, selama ini keduanya memang bisa di katakan putus hubungan setelah kejadian menegangkan beberapa tahun silam.

"Maaf, Om. Aku sebenarnya tidak bermaksud begitu. Hanya saja
kau tahu sendiri aku seperti apa." Wira tersenyum tipis.

"Sudahlah, aku tidak menyalahkanmu dan menuntut permintaan maaf darimu. Biar ku tebak, apa dia mulai berulah dan mengganggu ketenangan hidupmu saat ini?" Sekali lagi, Ken menghela napas panjang, mengatur emosinya yang kembali memenuhi rongga udara di dadanya.

"Lebih dari itu. Dia bahkan sudah
membuat istriku terbaring lemah dan membuat kami kehilangan calon bayi kami"

REVENGEWhere stories live. Discover now