7

107 10 2
                                    

"Mohon tenang. Biarkan kami memeriksa kondisi pasien," ucap salah satu perawat dengan sopan.
Tubuh Zella diperiksa dengan tiga perawat yang mengelilingi. Entah apa yang di lakukan perawat tersebut, tak lama salah satu perawat pergi keluar ruangan dengan cepat.

Ken terlihat semakin kacau, perasaannya bak diliputi awan mendung yang tak kunjung hilang. Begitu pula dengan Anna yang tak kalah kacau seperti Ken. Bagaikan hujan deras yang membasahi tanah, air matanya berjatuhan tak terbendung lagi.

Tampak dua orang dokter menerobos masuk dengan langkah lebar. Salah satunya dokter obgyn yang sejak kemarin memantau perkembangan Zella. Ken tak ingin mengganggu konsentrasi para dokter dan beberapa perawat yang membantu. Dia hanya melihat dengan teliti bagaimana telatennya para dokter memeriksakan kondisi sang istri. Tampaknya tubuh Zella perlahan mulai normal.

"Maaf, pasien harus di pindahkan
ke ruangan ICU untuk penanganan lebih intensif," ucap Dokter pria yang berada di sana.

"Apapun itu. Aku mohon lakukan
yang terbaik untuk kesembuhan istriku, Dok," ucap Ken lirih dengan mata yang kian sendu. Dokter pria itu mengangguk, lalu meminta perawat untuk segera memindahkan Zella ke ruangan ICU saat itu juga. Perawat dan dokter pria itu segera pergi meninggalkan ruangan bersama Ken, di ikuti Anna dari belakang dan menyisakan Ken sendirian.

Ken menyenderkan tubuhnya pada dinding kamar rumah sakit tersebut, tangannya menarik narik kasar rambutnya bahkan sesekali memukuli dinding dengan kepalan tangannya yang besar. Tak lama linangan air mata jatuh membasahi wajah Ken dan juga lantai rumah sakit itu.

Ken berteriak frustasi, meluapkan kesedihan serta amarahnya, bahkan dirinya tak menyadari jika wanita paruh baya baru saja menghentikan langkahnya tepat di belakang tubuhnya dan sedang memperhatikan tingkahnya yang tampak kacau. Isak tangis Ken semakin menguat, wajahnya tak bisa lagi menyembunyikan duka yang mendalam dalam hatinya.

"Kuatkan hatimu, Nak," ucap Lucia. Seraya mengelus pundak sang putra tercinta. Ken menaikkan pandangannya, melihat wanita paruh baya yang kini berada di hadapannya. Ken segera menyeka air matanya dengan kedua tangan dan berdiri dari duduknya.

"Ma," sapa Ken lirih. Berusaha untuk menutupi kesedihannya dihadapan sang ibu tercinta.

"Mama tahu ini sangat sulit dan kamu sangat sedih dengan kejadian ini. Tidak apa apa. Menangis saja, kalau itu bisa membuat perasaanmu sedikit
lega." Lucia tahu, ini akan menjadi
hal yang paling terberat dalam hidupnya. Maka dari itu, setidaknya dia masih bisa menjadi tempat sekedar mengadu dan menumpahkan kesedihan putranya.

"Aku takut, Ma." Ken menggeleng samar. Ketakutannya semakin
besar saat membayangkan tubuh Zella yang bergetar hebat beberapa detik yang lalu.

belum sempat Lucia menjawab, tiba tiba langkah kaki tak beraturan disertai dengan teriakan histeris, mengalihkan perhatian ibu dan anak itu.

"Mas. Mas Ken!"

"Kenapa, Anna?" Ken berdiri dari
duduknya dengan cepat, disusul Lucia dengan wajah paniknya.

"Kakak ..." Anna beruraian air mata seraya menunjuk kearah luar. "Kak Zella, Mas." Tanpa bertanya lebih lanjut, Ken memutuskan melebarkan
langkahnya untuk mengunjungi ruang ICU. Dari raut wajah dan cara berbicara Anna yang tak beraturan, dia yakin jika sesuatu yang tidak baik sedang terjadi pada sang istri tercinta.

Sepanjang langkahnya menyusuri
koridor rumah sakit, Ken merasa
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai ditujuan. Beberapa kali dia bahkan mengutuk dirinya sendiri yang tak kunjung tiba diruang ICU.

"Dimana istriku?" tanyanya pada
seorang perawat, ketika langkahnya terhenti tepat di depan ruang ICU.

"Dimana istriku?!" tanyanya lagi, setengah berteriak.

"Istri anda-" Seolah tak ingin mendengarkan jawaban dari perawat yang terkesan lama memberi respon
atas pertanyaannya, Ken langsung menerobos masuk ruang ICU
tanpa menggunakan pakaian khusus yang menutupi tubuhnya.

"Zella . Istriku. Istriku," panggilnya lirih begitu melihat pemandangan yang meremukkan hatinya.

Dua orang dokter dan beberapa perawat lainnya mengelilingi ranjang pesakitan yang menahan tubuh Zella. Salah seorang dokter terlihat sedang memegang sebuah alat seperti setrika dan menggerakkannya tepat diatas
tubuh Zella hingga membuat tubuh lemah tak berdaya itu refleks terangkat keatas.

"200 joule, all clear?"

"Clear."

"360 joule, all clear?"

"Clear." Kira kira seperti itulah interaksi dokter dan para perawat yang sedang menjalankan tugas didalam ruangan dingin itu.

Bersamaan dengan suara yang keluar dari alat monitor yang tersambung dengan tubuh Zella. Beberapa saat tak terdengar lagi suara dari dokter dan perawat. Tatapan mereka terpecah pada Zella dan alat monitor disampingnya. Sementara Ken, tubuhnya seperti kaku dan tak bisa bergerak. Terlebih, saat suara panjang yang berasal dari monitor terdengar memekakkan telinganya. Dokter dan perawat saling tatap menggelengkan kepalanya.

"Maaf. Kami sudah memberikan perawatan yang terbaik." Dokter
tersebut menghela napas panjang.
Saat ingin melanjutkan kata katanya, tangan Ken sudah terlebih dahulu terangkat, sebagai isyarat untuk tidak melanjutkan ucapannya. Air mata Ken menggenang dipelupuk sendunya. Kakinya yang kaku dia seret paksa sampai tiba disamping ranjang Zella.

Beberapa detik dia pandangi wajah
pucat sang istri dihadapannya. Ken tersenyum pedih. Tangannya mulai bergerak menyentuh bagian wajah Zella, bersamaan dengan tubuhnya yang membungkuk.

"Sayang ... ayo bangun," ucapnya dengan suara yang mulai serak.

"Kita belum menuntaskan mimpi
kita untuk mengelilingi dunia. Kamu tega meninggalkan aku sendirian? Heum?" Membelai rambut Zella. Kemudian sebelah tangannya mengambil tangan Zella untuk di genggam erat. Tolong jangan tinggalkan aku seperti ini, Sayang. Ku  mohon, bertahanlah." Air mata Ken mulai memberontak keluar. Dia tidak
sanggup lagi menahannya. Dia ciumi punggung tangan istrinya dengan sayang. Kemudian beralih pada dahi sang istri.

"Jangan tinggalkan aku, Sayang.
Aku sangat mencintaimu," katanya terisak.

"Bangunlah, Zella. Bangun!!" Menggoyangkan tubuh Zella. Berharap agar istrinya bergerak dan kembali membuka matanya.

"Banguuun!" Pecah sudah tangis Ken. Hatinya hancur dan pedih melihat sang istri tak berdaya kehilangan nyawa karena insiden tak beradab yang menimnpanya.

"Ken. Kenandra, sadar, Nak. Jangan seperti ini." Dari arah belakang, Lucia menarik tubuh putranya sambil menangis.

"Tidak. Istriku harus bangun, Ma. Dia sudah berjanji akan menemaniku sampai tua. Dia harus bangun," teriak Ken frustasi. Lucia menggelengkan kepalanya, kemudian memeluk Ken dan menepuk punggungnya beberapa
kali.

"Relakan, Ken. Relakan istrimu agar damai jalannya menuju surga." Ken seperti tersadar setelah mendengar ucapan Lucia. Tapi, tubuhnya melorot kelantai dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

"Zella, istriku," gumannya berulang kali.

Anna yang juga berada diruang
yang sama, tak bisa berkata dan berbuat apapun, selain menangis
terisak memeluk tubuh Zella yang
sudah tak bernyawa. Dalam hatinya meminta maaf, sekaligus berjanji akan membalaskan perbuatan biadab para pelaku yang telah menyebabkan sang kakak ipar meninggal dunia.

"Aku berjanji, Kak. Aku akan membuat mereka menerima balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Maafkan aku, Kak. Tidurlah dengan nyaman disisi Tuhan. Kelak kita akan
berkumpul bersama" batinnya menjerit pilu.

REVENGEWhere stories live. Discover now