15

97 12 3
                                    

Mentari pagi sudah menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Walaupun jarum jam masih berada diangka tujuh, tapi sinarnya sudah menerangi beberapa penjuru dunia. Tapi, hal itu tidak serta merta membuat hati Joy gembira seperti pagi pagi sebelumnya. Sejak semalam, dia bahkan tidak bisa menikmati tidurnya dengan nyenyak.

Joy Gabriela Maheswari. Putri bungsu
dari sepasang orang tua yang berbeda kewarganegaraan. Lahir dari seorang ibu berdarah asli Indonesia, serta ayah berdarah Australia, membuat Joy lebih banyak menghabiskan waktunya di tanah kelahiran sang ayah semenjak dirinya beranjak remaja. Tak memiliki nasib yang baik, Joy merupakan korban perceraian kedua orang tuanya setelah perselingkuhan yang di lakukan oleh sang ayah. Satu tahun setelah perceraian kedua orang tuanya, Joy mendapat kabar kematian sang ibu. Dan lebih menyedihkannya lagi, hanya berselang dua tahun, Tuhan ikut membawa ayahnya pergi untuk selama lamanya.

Joy melalui hari harinya tak seceria sebelumnya. Bahkan seolah tidak cukup sampai di situ Joy kembali menerima kabar menyedihkan mengenai sang kakak yang justru mendekam di balik jeruji besi Perempuan berparas cantik, pemilik iris coklat dan bersurai panjang itu sedang duduk melamun didalamn kamar penginapan yang sejak semalam dia tempati. Beberapa kali Joy tampak menghela napas panjang
hanya untuk mengembalikan
kesadarannya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, sampai sampai Joy tidak beranjak dari atas kasur sejak
satu jam yang lalu.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri.

"Aku tidak mungkin membiarkan
Kakak sendirian di kota ini. Walaupun aku tidak bisa bertemu dengannya setiap saat, setidaknya aku bisa tahu keadaannya." Joy bimbang, satu sisi dia ingin tetap tinggal di Jakarta, dan mencari pekerjaan di sana. Satu sisi lagi ucapan Axel selalu terngiang ngiang di telinganya. Bulu romanya sampai berdiri membayangkan betapa kejamnya laki laki yang diceritakan oleh sang kakak.

"Dasar tidak punya hati. Apa dia
pikir dia hidup di jaman penjajahan? Sampai harus menghukum orang orang yang tidak bersalah, sesuka hatinya?" Joy mengumpat kesal.

"Apa dia masih punya ibu? Dan
saudara perempuan? Jika iya, apa dia tidak takut akan ada karma yang akan menimpanya?" Joy terus menerka nerka. Dia tidak bisa berpikir lebih keras lagi.

"Sebenarnya siapa dia? Kenapa tindakan kriminalnya itu tidak
sampai terendus pihak kepolisian?
Bukankah seharusnya dia juga mendekam di penjara karena kasus
penyiksaan terhadap keluarga
keluargaku?. Oh, atau aku saja yang melaporkannya langsung? Tapi aku tidak punya bukti kuat. Bagaimana ini?" Joy terus bermonolog sendiri tanpa ada yang mendengar ucapannya.

"Argh ... Kepalaku rasanya ingin pecah." Memukul pelan kepalanya
sendiri karena rasa sakit yang dia
alami.

"Sudahlah. Lebih baik aku mandi
aja. Setelah ini, aku akan mengunjungi tempat yang telah lama tidak aku kunjungi." Merasa lelah sendiri dengan pemikirannya, Joy segera beranjak menuju kamar mandi. Masih ada hal yang harus di kerjakan pagi ini.

******

Lahan luas dengan banyak gundukan tanah diatasnya menjadi tempat yang paling sering Ken kunjungi selama dua tahun terakhir. Tidak merasa takut, Ken justru seperti telah bersahabat baik dengan suasana sepi disana. Hari ini, tepat dua tahun lalu tubuh istrinya terkubur dalam tanah yang kini ada di hadapannya. Seperti tahun sebelumnya, gundukan tanah yang di tumbuhi rumput hijau itu di hiasi dengan banyaknya bunga mawar putih dan beberapa ada juga mawar merah.

"Sayang, maaf aku sedikit terlambat mengunjungimu," ucap Ken seraya mengusap batu nisan mendiang istrinya.

"Tapi, mama dan Anna sudah terlebih dahulu datang kan? Jadi, kumohon jangan merajuk padaku, heum?" Ken tersenyum tipis. Seolah olah sedang membujuk istrinya.

Jangan terlalu heran. Ken memang akan sering bertingkah manis jika
sendirian berada makam istrinya.
Berbeda jika dirinya ditemani oleh
Lucia dan Anna. Dia cenderung
menutup diri dan hanya berbicara
dalam hati saja.

REVENGEWhere stories live. Discover now