17

86 13 1
                                    

"Sialan! Ternyata dia!" Ken melempar asal kertas foto tersebut hingga terjatuh ke lantai.

"Kau mengenalinya?" tebak Kai penasaran.

"Dia perempuan yang baru saja aku temui saat aku mengunjungi makam Zella. Perempuan gila yang berani merusak mobilku. Sial!" umpat Ken benar benar kesal.

"Pertemuan tidak sengaja, maksudmu?" Kai masih tetap penasaran. Dia ingin mengetahui
lebih jelas lagi. "Oh ... Jangan jangan ini yang dinamakan takdir?"

"Terserah apa namanya." Ken memukul lengan sofa. "Aku sudah
tidak sabar ingin menyiksanya!" Amarah Ken semakin bertambah.
Jika dia mengetahui sejak awal perempuan itu adalah target utamanya, dia akan menyandera
langsung perempuan itu.

"Jadi, kau tetap dengan keputusanmu? Apa membuangnya kesarang pelacur termasuk salah satu bentuk balas dendam yang kau pilih?"

"Tentu. Dia akan berakhir mengenaskan disana. Tapi, sebelum itu terjadi aku akan memberikan penderitaan yang besar untuknya, sampai tidak ada celah untuknya bertahan lebih lama," Kai hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar bagaimana besarnya antusias sahabatnya itu untuk membalaskan dendamnya yang belum tuntas.

"Ya. Semoga niatmu berjalan dengan mulus." Ken menoleh.

"Kau selalu lemah jika berhadapan dengan perempuan, Kai." Ken tertawa mengejek.

"Ya, karena aku terlahir dari rahim
seorang perempuan. Setidaknya aku menghargai mereka karena telah rela berkorban nyawa demi kehidupan yang baru."

"Kau tahu, Kai? Perempuan bisa menjadi racun yang paling mematikan di dunia ini."

"Dan perempuan juga bisa menjadi penawar yang bisa menyembuhkan segala penyakit." Ada interval sejenak antara keduanya. Sebelum akhirnya Kai kembali melanjutkan kata katanya.

"Aku tahu luka dihatimu belum
kering, Ken. But, jangan lampiaskan pada orang yang tidak bersalah." Seperti biasa. Ken tidak bereaksi
banyak jika sudah berdebat dengan sahabatnya itu. Walaupun dia tahu pada akhirnya dialah yang akan memenangkan perdebatan itu, tetap saja Ken akan menghargai apa pun kalimat yang terlontar dari mulut Kai.

"Roy. Jangan sampai lengah. Awasi terus dia," ucap Ken pada Roy dan langsung mendapat anggukan kepala dari Roy.

"Baik, Tuan muda," sahut Roy patuh.

"Jika kau masih ingin terlibat dalam kasus ini, aku tidak keberatan. Tapi, jika kau tak bisa menerimanya jangan pernah untuk melarangku berbuat kasar atau seperti apa pun yang aku
mau." Ken berdiri dari duduknya.
Merapikan jas berwarna abu tua
yang dia gunakan, kemudian menoleh pada Kai sekilas.

"Aku masih ada meeting penting" sambung Ken dengan ekspresi dinginnya. Lalu pergi begitu saja
tanpa menunggu jawaban dari Kai.

"Ceroboh," umpat Kai seraya
menatap punggung Ken yang
menghilang di balik pintu.

*******

Hari kedua berada di Jakarta, belum ada perubahan apa pun yang dirasakan oleh Joy. Semuanya masih sama seperti kemarin. Tidak ada kebahagiaan yang dia dapatkan. Justru kesedihan dan kekesalan yang
menghampirinya. Joy baru saja tiba di rumah sakit untuk mengunjungi sang kakak. Seperti sebelumnya, dia mendapatkan batas waktu untuk
berada di dalam ruangan itu. Tapi kali ini bertambah sepuluh menit lebih lama. Dan itu waktu yang cukup untuk Joy melepaskan rindunya pada sang kakak.

"Kakak menungguku?" tanya Joy
begitu melihat Axel tersenyum padanya.

"Tidak juga," sahut Axel dengan suaranya yang pelan.

"Hais ... Hatiku sakit mendengarnya." Joy memasang ekspresi wajah yang menyedihkan. Axel hanya tertawa pelan melihat reaksi buatan sang adik. Dia selalu merindukan tingkah manja dan menggemaskan adik semata wayangnya itu. Saat sedang asik bercengkerama dengan Axel, tiba tiba Joy mengalami bersin beberapa kali hingga membuatnya harus sedikit menjauh dari sang kakak.

REVENGEWhere stories live. Discover now