38

66 12 2
                                    

Joy perlahan membuka matanya. Sinar matahari yang terang berbinar menembus sisi gorden yang masih tertutup. Beberapa saat terdiam, kaki telanjangnya bergerak memijak lantai keramik yang terasa dingin. Hawa dingin sisa hujan deras semalam masih terasa. Tidak sangka jika pagi akan secerah ini.

Joy membuka tirai gorden, berdiri di depan dinding kaca lebar, menatap hiruk pikuk kota Jakarta melalui dari ketinggian tempat kamarnya berada.

Saat ini Joy sedang berada di hotel. Setelah menghadiri pemakaman sore kemarin, Joy tidak langsung pulang ke
Surabaya, melainkan menginap untuk menginap beberapa hari di kota tempat kelahiran dirinya. Mata Joy merah dan sembab. Begitu pula dengan wajahnya yang pucat. Dia seperti orang sakit, dan benar benar merasa kehilangan. Sampai subuh tadi dia masih menangisi kepergiaan Axel untuk selamanya. Joy juga tidak
menelan satu butir nasi pun, ataupun roti dan jenis makanan lainnya. Hanya air putih yang perutnya bisa terima saat ini.

Tubuh Joy melorot, lalu meringkuk memeluk kedua lututnya. Joy menangis, terisak begitu keras. Kepergian Axel menjadi kesedihan paling mendalam yang ia rasakan. Tidak ada lagi harapan untuk bisa
hidup bahagia dengan kakaknya. Tidak ada lagi orang yang akan dia
kunjungi dan mengunjunginya dengan sangat antusias. Tidak ada lagi pelukan manja yang akan di dapatkan dari seorang kakak. Juga, tidak ada lagi orang yang akan dia ajak bertengkar, lalu berbaikan dalam waktu yang bersamaan.

Joy benar benar terdampar di dasar yang paling bawah. Hidupnya menjadi tidak penting dan bermakna lagi. Sendirian, benar benar sebatang
kara. Tanpa kedua orang tua dan sosok kakak yang menjadi pelindung baginya.

"Kenapa kau mengambil nyawa
kakakku, Tuhan?" teriak Joy seraya menarik kasar rambutnya sendiri.

"Kenapa kau biarkan aku
hidup sendirian?"

"Apa salahku, Tuhan? Apa?!" Tak
cukup menyakiti dirinya sendiri, Joy bergerak melampiaskan ke sedihannya dengan cara menghancurkan barang barang yang ada di sekitarnya. Ia tidak peduli jika dia harus menggantinya. Ia hanya ingin meluapkan semua perasaan emosi yang sedang menjalar di tubuhnya. Mulai dari lampu tidur, vas bunga, gelas dan lainnya yang berada di atas nakas serta meja bulat di sudut kamar, habis berserakan di lantai akibat perbuatan yang Joy sendiri tidak sadari.

"Kenapa aku harus hidup sendirian?"

"Kembali kan ayah ibuku, kakakku!Kembalikan!"

"Aaaaa ... Kembalikan kakakku!" Dari teriakannya, terlihat jelas jika Joy sangat frustasi. Dia belum bisa menerima kenyataan, bahwa dirinya kini tidak memiliki orang yang menyayanginya dan dia sayangi.

Suara ketukan pintu dari luar Joy abaikan. Dia terus berteriak mempertanyakan takdirnya yang
begitu kejam. Ia rapuh, benar benar rapuh. Di usia mudanya ia sudah banyak menerima cobaan hidup yang sangat kejam.

"Kenapa kau tidak mengambil aku juga? Kenapa hidupku di penuhi kesedihan? Aku tidak sanggup!" Sampai akhirnya, suara keras
terdengar dari luar, dan benar saja, pintu di dobrak dari luar kamar
dan menampilkan tiga orang laki
laki dengan wajah cemas.

"Astaga, Joy." Ken berlari dengan cepat begitu melihat darah berhasil menetes dari tangan Joy. Buru buru dia mengambil pecahan kaca dari tangan Joy yang dia gunakan untuk melukai dirinya, dan melemparnya jauh dari perempuan itu.

"Lepaskan aku." Joy berontak, dia berusaha mengambil kembali pecahan kaca di sekitar tempatnya duduk. Beruntung, Ken dengan sigap
Menahan kedua tangan Joy.

"Apa yang kau lakukan? Kau ingin mati? Hah?" Ken tidak berteriak. Hanya saja, tatapan mematikannya
tertuju pada gadis itu.

"Pergi! Biarkan aku mati saja. Aku
tidak ingin hidup sendirian seperti
ini. Pergi!" teriak Joy dalam isakan tangisnya.

Kau tidak boleh mati dengan cara
seperti ini. Aku tidak meengizinkannya. Kau belum menderita. Kau akan merasakan
penderitaan yang lebih dari pada ini. Dan untuk kematianmu, hanya aku yang boleh menentukannya kapan kau harus mati. Kira kira seperti itulah arti tatapan Ken saat ini.

Tak sejalan dengan pikirannya, hati Ken justru merasakan sakit yang luar biasa melihat keadaan Joy yang menyedihkan. Setelah menatap beberapa detik, Ken merengkuh tubuh perempuan itu, memeluknya dengan hangat, seraya membelai rambut panjang Joy yang sedikit berantakan.

"Tenangkan dirimu. Jangan menangis lagi." Kemudian Ken berdiri, mengangkat tubuh Joy untuk dia bawa pergi dari sana.

"Bereskan ini semua," titahnya pada Frans. Kemudian menoleh pada Leo.

"Ambilkan kotak obat sekarang," ucapnya. Ken membawa Joy untuk memasuki kamar lainnya. Sengaja
Ken memesan suite room untuk Joy menginap beberapa hari selama di Jakarta. Dia sudah menduga jika hal buruk seperti ini akan terjadi.

Ken sudah meletakkan tubuh Joy di atas kasur yang rapi. Di tatapnya lekat lekat wajah Joy yang di penuhi dengan air mata. Rasanya, ada ribuan anak panah yang sedang menancap di
jantungnya. Sakit sekali. Terlebih, Joy tidak berhenti terisak.

Kedua tangan Ken bergerak lembut menyeka air mata Joy. Saat Joy menaikkan pandangannya, mata keduanya saling beradu. Entah kenapa, mendapat perlakuan Ken yang lembut seperti itu, membuat tubuh Joy semakin berguncang hebat.
Ken kembali memeluk Joy.

"Ssst... Ada aku disini," bisiknya.
"Aku sudah berjanji, tidak akan membiarkanmu merasa sendiri. Ku mohon, jangan lagi lukai dirimu seperti ini." Kemudian mengecup singkat kepala Joy. Joy menggelengkan kepalanya, tangisnya semakin deras membasahi pipinya yang mulus. Dia menjadikan dada bidang Ken sebagai sandaran kepalanya. Cukup menenangkan, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan perasaan sedihnya.

"Aku tidak sanggup. Aku tidak sanggup seperti ini, An."

"Kau bisa melewati ini semua, Joy. Aku bersedia berada di sampingmu kapanpun dan di manapun, selama
kau butuhkan. Bahkan, aku siap
bersamamu dua puluh empat jam
setiap harinya."

Deg!

Jantung Joy berdebar. Entah apa yang dia rasakan saat ini. Ada getaran di dalam hatinya yang tidak bisa dia jelaskan dengan kata kata. Yang jelas, Joy merasa hatinya tersentuh dan
menginginkan itu terjadi.

Ya Tuhan. Sekarang apa? Joy bahkan sudah mengambil kesimpulan sendiri tanpa bertanya lebih jelas pada laki laki itu. Ken melepaskan pelukannya saat mendengar suara ketukan pintu
dari luar. Setelah mengizinkan untuk masuk, Leo terlihat memberikan kotak obat obatan tersebut pada Ken. Kemudian kembali pergi.

Dimulai dari tangan Joy, Ken membersihkan bercak bercak darah dan memberikan obat di permukaan kulit Joy yang luka sebelum menutupnya dengan perban dan plaster khusus. Ken terlihat sangat tulus melakukan itu semua.

"Telapak kakimu juga terluka, Joy. Sepertinya kau menginjak pecahan
kaca," ucapnya setelah memeriksa
bagian bawah kaki Joy.

Joy tidak bersuara. Dia hanya diam dan menyandar di kepala ranjang. Tubuhnya terasa sangat lemas dengan sisa sisa kekuatan yang ada. Sementara Ken, dia mulai bergerak membersihkan telapak kaki Joy
dengan hati hati.

"Aaw... Perih." Joy meringis pelan saat merasakan sesuatu di telapak kakinya.

"Ini memang akan sangat perih. Tapi, bertahanlah sebentar. Ada beberapa serpihan kaca yang menancap di telapak kakimu." Ken bergerak untuk meraih kotak tisue di atas nakas. Kemudian kembali fokus pada telapak kaki Joy.

Ken memiliki pengalaman yang cukup baik dalam memberikan
pertolongan pertama. Pasalnya, saat masih berusia dua puluhan, Ken pernah mengikuti pelatihan kesehatan khusus dan memiliki
sertifikat terpercaya. Bahkan, Ken
tahu bagaimana cara mengeluarkan peluru yang bersarang di dalam tubuh seseorang.

Semua itu dia lakukan, untuk menolong orang orangnya yang terluka saat bekerja untuknya. Karena, melibatkan tim medis terkadang sangat merepotkan untuknya.

"Selesai," ucapnya, kemudian memberikan sentuhan kecil di punggung kaki Joy. Memijatnya pelan untuk merilekskan kaki Joy agar tidak terlalu kaku.

Ken meletakkan kotak obat yang
telah tertutup rapat ke atas nakas. Kemudian, tangannya beralih mengambilkan segelas air putih yang sebelumnya juga di bawa oleh
Leo.

"Minum dulu, Joy." Menuntun Joy untuk meneguk air tersebut, tanpa melepaskan tangannya dari gelas tersebut. Setelah meneguk hampir setengah gelas, Joy menjauhkan bibirnya dari gelas tersebut. Dan Ken
meletakkan kembali ke atas nakas.
Mata Joy menatap sejurus pada Ken. Membuat Ken bereaksi.

"Ada apa, Joy."

REVENGEWhere stories live. Discover now