34

53 9 0
                                    

"Kak, ada pesanan pizza datang. Rika membawa empat box pizza berukuran besar di tangannya. Joy yang sedang sibuk dengan kain dan pola di tangannya, menoleh pada Rika. Dahinya sedikit berkerut melihat makanan yang Rika pegang.

"Kau yang memesannya?" tanyanya. Rika menggelengkan kepalanya.

"Aku belum gajian, Kak. Hehe..." Tersenyum lebar seraya menunduk malu. "Bukannya ini pesananmu?"

"Tidak. Aku tidak merasa
memesannya,"

"Aku pikir ini pesananmu. Biasanya kau sering memesan pizza yang sama. Jadi, siapa yang membelinya?" Joy menggedikkan bahunya. Dia juga sama bingungnya dengan Rika. Dia memang berniat ingin memesan makanan, tapi bukan pizza.

"Apa kau bertanya pada kurirnya siapa yang memesannya?"

"Ah iya. Aku lupa bertanya." Memukul dahinya sendiri.

"Kurirnya cuma mengantarkan pizza ini, atas namamu, Kak. Ya, jadinya aku terima saja. Karena ku pikir itu memang kau yang memesan."

Joy ingin lanjut berpikir. Tapi, suara nada dering yang berbunyi dari ponsel miliknya, membuat Joy harus mengurungkannya. Terlebih, nama yang tertera di layar ponsel miliknya. Tidak bisa untuk dia tunda menerima
panggilan itu.

"Ya, Andra," sapa Joy memulai percakapan.

"Kau sudah menerima pizzanya?" Suara milik Ken terdengar dari seberang sana.

"Jadi kau yang memesan pizza ini?" tanya Joy seraya melirik Rika.

"Iya. Apa itu kurang?"

"Tidak bukan begitu maksudku. Ini sudah lebih dari cukup untuk karyawan disini. Tapi kenapa kau
tidak memberitahuku terlebih
dahulu?"

"Jika aku ingin melakukannya, apa aku harus memberitahumu dulu, Joy? Itu hanya makanan bukan barang mewah atau penting lainnya Joy. Jika iya, lain kali aku akan bertanya padamu." Joy tersenyum tipis. Entah apa yang dia rasakan sampai bibirnya melengkung sempurna.

"Terima kasih untuk pizzanya."

"Sama sama Joy. Itu bukan apa apa."

Joy mendengar samar suara yang menggema dari dalam ponsel miliknya. Suara yang di yakini Joy berasal dari tempat Ken berada saat itu.

"Kau sedang di bandara?" Rika yang masih berada di depan Joy memilih untuk meletakkan pizza tersebut dan meninggalkan ruangan untuk memberikan keleluasaan bagi Joy mengobrol melalui sambungan telepon itu.

"Eum ... Aku akan berangkat ke singapore dan menetap beberapa
pekan."

"Beberapa minggu?"

"Ya, sekitar satu atau dua minggu." Seketika Joy merasa kecewa mendengar penuturan dari Ken yang akan pergi cukup lama. Dengan begitu dia akan jarang bertemu dengan laki laki itu. Ah, dia pasti akan merindukan tatapan serta momen bersama Ken.

Eh ... Apa apaan ini? Jangan berpikir aneh, Joy. Kalian berdua hanya sekedar rekan bisnis. Tidak lebih. Jadi, jangan libatkan perasaan dalam urusan ini. Lagi pula, mana mungkin dia menyukaimu. Jangan terlalu berharap. Jatuh itu sakit Joy. Apa lagi sampai terhempas ke dasar yang paling bawah. Ya, setidaknya kata kata itu bisa mewakili perasaan Joy.

"Joy, kau masih mendengarku?"Suara Ken menyadarkan Joy dari lamunan murungnya. Entahlah Joy tiba tiba merasa tidak bersemangat.

"Ya. Tentu saja. Aku tidak tuli." Joy tertawa pelan untuk menutupi kekecewaannya.

"Aku pasti akan merindukanmu, Joy"

"Hah? Apa katamu tadi?"

"Joy. Aku -- Ah, aku harus mengakhiri panggilan in Pesawatku sudah siap untuk terbang. Sampai jumpa lagi. Jaga dirimu baik baik, Baby."

"Baby? Kau-" Sambungan telpon terputus begitu saja. Membuat Joy menghela napas lesu dan meletakkan kasar ponselnya di atas meja.

"Apa aku tidak salah dengar? Dia
Memanggilku Baby. Ya Tuhan. Kenapa ini? Kenapa jantungku berdebar debar. Tidak mau berhenti. Astaga ..." Joy memukul pelan dadanya sendiri. Berharap agar kerja jantungnya kembali normal seperti biasanya Apa mungkin ini tanda tanda jatuh cinta?"
Beberapa detik Joy diam.Mencerna kalimat tanya yang dia ajukan untuk dirinya sendiri. Detik setelahnya, dia menggeleng kuat.

"Tidak mungkin. Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan dia." Joy kembali
menggeleng, menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya.
"Tidak mungkin. Tidak!" teriaknya
frustasi.

Rika kembali muncul setelah mendengar Joy berteriak. Dia bahkan meninggalkan jahitannya yang hampir setengah jadi karena khawatir terjadi sesuatu pada bosnya itu.

"Kak, kau kenapa?" tanyanya mendekati Joy. Joy melepaskan telapak tangan yang menutupi wajahnya. Bibirnya mencebik dengan sudut mata yang basah.

"Aku sepertinya akan gila, Rika."

"Gila? Kenapa kau akan gila, Kak? Kau cantik dan bertalenta. Mana mungkin kau gila." Rika mengira jika Joy sedang bercanda padanya. Tapi, setelah melihat sudut matanya mengaliri bulir bening, membuatnya sangat yakin jika terjadi sesuatu pada Joy.

Joy mendongakkan sedikit kepalanya, menatap Rika yang berdiri dihadapannya.

"Aku boleh bertanya satu hal padamu, Rika?" Tanpa ragu, Rika menganggukkan kepalanya.

"Tentu saja."

"Apa kau pernah jatuh cinta dengan laki laki, hanya dengan beberapa kali pertemuan?" Joy langsung bertanya pada intinya. Tidak ingin berbelit dan membuat Rika pada akhirnya kebingungan untuk menjawab.

Bola mata Rika berputar, seolah
mencari ingatannya yang tersimpan rapi dalam memori otaknya.

"Sepertinya pernah. Waktu aku duduk di bangku sekolah tiga tahun yang lalu." Menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan ingatan yang terlintas sekilas.

"Bagaimana rasanya? Maksudku, perasaanmu seperti apa saat tahu
kau sedang jatuh cinta?"

"Seperti apa, ya? Aku sendiri juga
bingung menjelaskannya, Kak. Aku lupa. Karena itu terakhir kalinya aku merasa jatuh cinta. Tapi, aku rasa itu sekedar cinta monyet biasa." terserah. Mau cinta monyet, cinta beruang, cinta zebra. Terserah. Yang jelas Joy ingin tahu seperti apa perasaan itu.

"Jelaskan saja padaku apa yang kau rasakan saat itu, Rika. Ayolah, jangan banyak berpikir." Sedikit mendesak, Joy berhasil membuat Rika berpikir keras dan menjawab spontan.

"Jantungku berdebar, tubuhku terasa panas dingin dan meriang saat di sampingnya. Suaraku juga sering berubah dengan sendirinya. Dan--"

"Kau jatuh cinta atau sakit? Kenapa gejalanya seperti orang sakit saja." Joy memotong ucapan Rika yang menurutnya terdengar rada aneh di telinganya. Rika tergelak lepas. Dia sendiri saja tidak yakin bagaimana perasaan yang dia rasakan saat jatuh cinta. Alhasil, dia hanya bisa menggambarkan ala kadarnya saja.

"Sudah aku bilang, Kak. Aku saja
sampai lupa. Tapi kau mendesakku. Ya sudah, aku jawab begitu." Joy menghela napas kasar. Wajahnya benar benar terlihat frustasi.
"Apa kau sedang jatuh cinta, Kak?" Tebak Rika sekenanya. Joy tidak bereaksi apa apa selain menatap Rika dengan mata sendunya. Tapi, Rika justru membelalakkan matanya.

"Astaga ... Jangan bilang kau jatuh cinta dengan tuan gunung es itu?"

"Tuan gunung es?" Joy bertanya, bingung. Setelah gelar Pangeran Tampan yang dia berikan untuk Aiden, siapa lagi orang yang mendapat gelar baru tersebut.

"Iya. Tuan gunung es alias Pak Ken." Rika tampak antusias. Dia yakin jika tebakannya tidak meleset. "Kau jatuh cinta dengannya, Kak?" Wajah Joy memerah. Sekujur tubuhnya bahkan terasa menghangat saat Rika menebak dengan benar.

"Bicara apa kau? Sudah pergi sana, bawa semua pizzanya. Ajak semua
karyawan lainnya untuk menikmatinya." Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin Joy mengaku pada Rika. Lagi pula, dia belum memastikan kebenarannya. Bisa saja itu hanya reaksi spontan saat dirinya merasa tersanjung atas kata kata manis untuk dirinya.

"Tapi, Kak. Benar kau jatuh-"

"Kau berisik sekali, Rika. Pergi Sana,"

REVENGEWhere stories live. Discover now