26). WILLIAM XV

31 6 0
                                    

16 Tahun lalu—Milan, Italia (2006)

.
.
.

Waktu sudah menunjukkan tepat pukul sepuluh malam dan William masih berkutat dengan buku sains yang ada ditangannya alih-alih harus mengistirahatkan diri.

"Apa kau akan terus membaca buku membosankan itu?" Lendrina menghela nafas kesal, dia mengamati William sejak tadi dan laki-laki itu belum bergerak untuk melakukan sesuatu yang lain.

"Pulang dan istirahatlah, kembali kesini setelah kau pulang dari sekolah besok."

"Lalu bagaimana denganmu, kau tidak ingin istirahat?"

"Aku akan istirahat setelah menyelesaikan buku ini."

"Hei k—"

"Tenang saja sayang, aku membaca mengguna- kan mata bukan kaki." William menoleh kearah Lendrina dan menampakkan senyum manis pada gadis itu  walaupun hanya satu detik karena dia sangat cepat mengubah ekspresinya menjadi datar "Supirku sudah menunggu, pulanglah.

"Oke!" Lendrina bangkit dari duduknya, mengambil tas dan barang barangnya, tapi yang membuat William hampir tertawa adalah bagaimana cara gadis itu menenteng hak tinggi nya "Selamat malam." Na menepuk bahu William sebelum pergi.

"Sebelum pergi.. bisa memberi aku pelukan?"

"Vuoi che ti schiaffeggi? Kau mau ku tampar ya?"

"Hug me." Laki-laki itu merentangkan tangannya, entah ini bagian dari permainan atau bukan, bahkan si pemilik permainan pun tidak bisa membedakan itu sekarang.

Ini adalah spontanitasnya.

"Non voglio! Aku tidak mau! Bye!" Lendrina mengibaskan rambutnya hingga rambut rambut itu secara tidak langsung menampar wajah William, lalu dengan santai dan riang nya gadis itu berlari pergi kayaknya anak kecil.

"JANGAN LUPA KEMBALI KESINI BESOK!"

"TIDAK!"

William tersenyum, kepalanya menggeleng dengan kekehan geli yang keluar dari sela bibirnya, apapun tingkah yang ditunjukkan Lendrina padanya benar benar selalu membuat dirinya jatuh cinta. William kembali memfokuskan dirinya pada buku pelajarannya, mempelajari hal-hal baru yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya, setidaknya cap nakal diluar sana tidak mempengaruhi kinerja otaknya.

Matanya memang fokus tapi sepertinya itu berbanding terbalik dengan apa yang sedang terjadi dipikirkannya, ada rasa gelisah disana karena sang Ayah tidak mencarinya sejak kemarin. Pria itu pasti tahu jika putranya berada dirumah sakit sekarang, para pengawal saling terhubung jadi William yakin keluarganya pasti tahu.

"Kenapa dia tidak mencari ku." Gumamnya pelan disela sela membaca.

"Siapa yang kau maksud?"

William membelalakan matanya, laki-laki itu langsung menutup dan menaruh buku nya diatas nakas "Ayah?"

Kolo ada disini sekarang,  pria yang sedari tadi William pikirkan sudah berada disini. Kolo sebenarnya sudah tahu sejak pagi jika putranya masuk rumah sakit, tapi dia juga baru saja kembali dari roma untuk mengurus banyak hal ditambah lagi jadwal yang selalu padat membuatnya sangat sulit untuk memisahkan waktu antara pekerjaan dan putranya.

"Ada masalah di sindikat roma, Ayah harus menyelesaikan nya terlebih dahulu sebelum pergi kesini." Beritahu Kolo "Bagaimana kakimu, apa sudah lebih baik?"

"Sakit." Kata itu terlontar begitu saja dari mulut
William, matanya tak bisa lepas untuk menatap wajah sang Ayah yang kini tersenyum, dia tak pernah menyaksikan ini seumur hidupnya, Kolo tersenyum adalah kejadian langka "Sangat Sakit."

Giocare Per Amore E MorteWhere stories live. Discover now