54). WILLIAM XLIV - POINT PROBLEM

11 4 0
                                    

16 Tahun lalu — Milan, Italia (2006)

.
.
.

Baru saja kemarin.

Rasanya baru saja kemarin semua orang menghadiri acara pemakaman.

Dan hari ini mereka harus datang lagi untuk memberi penghormatan terakhir pada dua orang hebat..

Steven Greg dan Livion Aresta L'enfer Chaud.

William tidak bisa menyembunyikan tangisan nya, ini bahkan lebih sakit daripada kehilangan ibunya. Laki-laki itu memeluk erat ayahnya yang saat ini berdiri disampingnya. Mendampingi putra semata wayangnya untuk melihat proses pemakaman Ares dan Steve.

"Dia akan bertemu ayahnya, harusnya kau senang." Kolo mengusap kepala putranya yang sekarang menangis di pelukannya layaknya bayi.

"Aku belum siap, pa.." lirih William.

Steve adalah pengawal terbaik untuk keluarga Cassano.

Dia dan Ayahnya benar-benar mengabadikan diri untuk Keluarga Cassano hingga kematian menjemput mereka. Ayah Steve meninggal dalam perang underground organization. Saat itu Italian Grove adalah penyebab utamanya.

Dan sekarang terulang lagi.

Tangisan mengiri proses pemakaman, dua peti mati yang sudah berada didalam sebuah lubang itu dilemparkan kembali dengan tanah, terus menerus hingga akhirnya kembali tertutup rapat dan membiarkan dua keduanya beristirahat di rumah mereka yang baru.

Kehilangan Ares juga bukan hal yang mudah untuk mereka semua. Laki-laki itu adalah orang kedua setelah Lilac yang mampu dipercaya oleh Kelvin dan William.

Ares adalah matahari yang menyinari gelapnya kehidupan yang dijalani oleh Kelvin dan William, laki-laki itu seperti lilin yang tuhan kirimkan saat mereka tidak memiliki penerangan dikehidupan mereka.

Ares mampu membuat mereka tertawa dan tersenyum seberat apapun situasi yang saat ini dihadapi.

Jika laki-laki itu pergi..

Siapa lagi yang akan membuat Kelvin, William dan Lilac tersenyum saat badai datang?

William bersimpuh ditengah-tengah antara makam Ares dan Steve. Kelvin dan Lilac mencoba menguatkan nya, walaupun sebenarnya mereka rapuh. Tidak ada yang siap untuk menghadapi perpisahan.

"Kau benar." Lirih Kelvin seraya mengusap batu nisan Aresh "Aku menangis.."

"Harusnya aku.." William terisak.

Terdengar sangat pilu "Harusnya aku yang lebih dulu mati.."

"Jujur saja, jika kau mati aku tidak peduli!" Acuh Kelvin seraya menjepit sebuah foto yang baru saja dia cuci ke tali penjemur.

"Tapi aku peduli!" Lilac menjulurkan lidahnya dan melompat kegendongan Ares.

"Neh, akan ku pastikan kau menangis saat aku mati nanti." Ares percaya diri.

"Aku akan mati satu hari sebelum kematian mu." Sahut William asal "Sampai bertemu di surga."

"Sungguh? Apa kau yakin tuhan akan membiarkan manusia seperti mu merasakan surga?" Kelvin terkekeh tak percaya.

"Aw! Tentu saja, aku selalu datang ke gereja untuk ibadah, sedangkan kau? Kau bahkan tidak pernah datang!"

"Kita beda gereja." Kelvin mendelik kesal.

"Ouch." Atensi keduanya beralih untuk melihat Ares yang saat ini menampilkan ekspresi sakit, tapi dia tetap mempertahankan Lilac ada dipunggungnya.

Giocare Per Amore E MorteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang