Penantian

26 6 0
                                    

1 bulan lebih telah berlalu, devina sudah tidak lagi kejar - kejar para wartawan karena berkat om nya yaitu adit semuanya berita sudah tenggelam begitu saja.

Devina kembali menjalani hidupnya seperti biasa lagi. Tidak ada bodyguard dan menjadi santapan para wartawan. Kondisi devina sudah dibilang cukup membaik.

Kini ia bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa, matanya tertuju pada hp nya yang tergeletak di kasur. Setelah cukup menikmati udara pagi hari di atas balkonnya. Ia mengambil hp nya dan mengecek apakah masih ada notif special yang selalu mengganggunya setiap hari.

Devina nampak cemas dan sedih. Karena sudah 1 minggu terkahir arsen tidak kembali mengirimkan pesan padanya apapun. Dan rasanya juga sudah sangat lama sekali ia tak bertemu dengan arsen.

Perasaan yang masih sama, tak kurang dan hilang sedikitpun dari hati devina. Bohong jika devina tidak kesepian tanpa adanya arsen. Bohong jika devina harus benar - benar merelakan ia bersama dengan yang lain.

Perasaan dan logika devina selalu berperang setiap hari. Untuk mengikhlaskan arsen dan membiarkannya mencintai pilihannya atau kembali mencarinya dan memperbaiki semua yang telah ia hancurkan.

"Kemana ya kira - kira". Gumam devina cemas dan kini ganti baju dan segera turun ke bawah.

Kebetulan devina dirumah sendirian. Jadi ia langsung menyalakan mobil dan bergegas menuju ke kampus.

Sesampainya di kampus, devina mencari - cari dimana arsen berada. Dikelasnya tidak ada batang hidungnya. Sampai ia bertemu dengan iskak dan william di kantin.

"Dev, lo baru masuk?". Tanya iskak.

"Iya kak". Ujar devina singkat kemudia ia duduk di depan mereka berdua.

"Ngapain lo kesini?". Tanya william sedikit ketus.

"Gapapa, gue cuma.. cumaa".

"Cuma, cumaa. Cuma apaan? Nyari arsen? Dia gak masuk udah 1 minggu ini". Jawab william

"Kemana?".

"Ngapain lo nyari dia?. Katanya udah gak peduli".

"Dev, lebih baik lo kerumah arsen aja. Kita juga gatau arsen dimana. Gue chat, telfon bahkan samperin ke rumahnya aja dia selalu ga ada". Ujar iskak.

"Yaudah, gue cabut dulu". Devina pergi begitu saja dari hadapan mereka.

"Lo yakin arsen masih mau nemuin dia?". Tanya william.

"Kagak tau juga yam".

Sesampainya di parkiran, ia melihat seperti sosok arsen yang sedang duduk membaca buku di taman depan kampus. Taman yang sering mereka singgahi. Devina seger berjalan menghampirinya.

"Sen". Ujar devina lirih dan ia menurunkan buku yang menutupi wajahnya.

"Kenapa dev?".

"Sori put gue kira arsen".

"Iya dev gapapa, gue kira kenapa".

Devina ternyata salah orang. Orang tersebut tenyata putra dari jurusan psikologi. Postur dan potongan rambut dari kejauhan pun mirip dengan arsen. Tanpa berlama - lama lagi, devina segera pergi ke rumah arsen.

Sesampainya di depan rumahnya, ia masuk ke teras rumah dan beberapa kali mengetuk pintu rumah arsen. Sudah hampir 15 menit namun tak ada sahutan apa - apa dari dalam.

Ia melihat ke arah rumah wikan yang juga terlihat sepi. Akhirnya dia mengecek kembali hp nya. Masih tidak ada notif dari siapapun. Dia mencoba menghubungi wikan.

"Halo kenapa dev?".

"Lo dimana kan?".

"Gue lagi ke mall nemenin nyokap gue belanja. Kenapa?".

EccedentesiastWhere stories live. Discover now