Akhir Rasa Sakit

97 4 0
                                    

Suasana berduka menyelimuti rumah friska yang kini kehilangan anak perempuan satu - satunya. Bendera merah sudah berkibar di depan rumah dan di sambut haru oleh satpam juga para pembantunya.

Kini friska hanya bisa meratapi kepergian devina tanpa bisa melakukan apapun lagi. Dia sudah sadar namun dengan tatapan kosong bersandar pada tembok dan di dampingi chaterin juga feby.

Teman - teman terbaik juga kerabat devina maupun juga datang ke rumah untuk melihat devina yang terakhir kalinya.

"DEVV.... BANGUN DEVVVVV. KENAPA KAMU NINGGALIN AKU SECEPET INI DEVVV". Teriak arsen yang baru saja datang bersama melati dan juga yoga.

William dan iskak menahan arsen untuk tak menangisi jenazah devina yang sudah terbalut kain kafan di dalam keranda.

"DEVINAAAA, KAMU JANGAN BERCANDA KEK GINI DEV. BANGUN DEVVVV, DIMANA JANJI KAMU BUAT GAK NINGGALIN AKU DEVV.... BANGUNNNNN". Arsen menjatuhkan diri tepat di posisi teras rumah devina yang sudah ramai orang.

"Sen, udahhh sen udahhhh. Ikhlasin devina, dia udah bahagia disana". Ujar william masih memegangi lengan arsen yang masih terisak akan tangisnya.

"DEVINA BELOM MATIII YAMMMM!!".

"Sen udahhhh, biarin devina pergi. Tuhan lebih sayang sama devina sen. Udahhhh". Iskak mencoba menopang dada arsen yang hampir tersungkur ke lantai.

"Sen, bangun nakkk". Yoga mencoba mengangkat tubuh arsen yang nampak sangat lemas melihat devina yang sudah tiada.

"Paaa, devinaaa masih hidup kannn". Ujar arsen yang kini berada dalam pelukan yoga.

"Tenang senn udahhh, jangan kamu tangisi devina. Dia udah tenang disana sen. Kamu harus kuat ya nak". Ujar yoga sambil mengusap punggung anaknya sembari menguatkan kondisi arsen.

Selang beberapa menit proses pemakaman devina pun dilangsungkan. Mereka beriring - iringan menuju ke tempat perisitrahatan terakhir devina.
Wikan, william, iskak, feby, dio, melati. Semua masih dengan mata yang basah.

"Dev, kenapa sih lo secepet ini ninggalin gue". Gumam feby yang kini di rangkul oleh dio sambil melihat jenazah devina di kebumikan.

"Feb, ikhlasin devina yaa. Sekarang dia udah gak ngerasain sakit lagi. Dia udah bahagia di surga". Ujar dio sambil mengusap lengan feby yang masih tak bisa membendung air matanya.

Angga, rio dan andre masuk ke dalam liang untuk meletakkan devina ke peristirahatan terkahirnya. Setelah acara penguburan selesai. Mereka menaburkan bunga diatas pusara devina dengan tanah yang masih basah.

"Bun, udah yuk pulang". Ajak angga supaya friska tidak terlalu berlarut - larut disini.

"Gamau ngga, kasihan devina di sana sendirian. Bunda mau nemenin dulu". Ujar friska masih dalam tangisannya memeluk nisan yang bertuliskan nama devina.

"Ayo fris kita pulang yaa. Jangan terlalu berlarut. Pasti devina ikutan sedih kalau kamu masih menangisi kepergiannya. Ikhlasin ya frisss". Ujar chaterin yang kini jongkok di sebelah friska.

"Ayo fris kita pulang dulu, kamu butuh istirahat juga". Adit mencoba membujuk friska dan akhirnya ia pun menurut.

Kini yang tersisa hanya arsen, melati dan yoga. Yoga dan melati masih setia menemani arsen di pusara devina.

"Dev, kenapa kamu gak ngajak aku sekalian sih. Kamu tau kan kalau aku gak bisa tanpa kamu. Kamu tau kan aku gapunya rumah selain kamu. Kemana lagi aku harus bercerita kalau gak sama kamu coba. Aku harus ngasih brownis coklat sama susu vanilla ke siapa lagi dev?. Rambut siapa yang aku kuncir lagi pakai karet kalau bukan rambut kamu?. Ga ada lagi yang bikin aku marah lagi lho dev, ga ada lagi yang ganggu aku, ga ada lagi notiv favorit maupun ucapan selamat pagi dan selamat tidur dari kamu. Katanya kamu mau ajak aku ke sanur kan buat lihat sunset?. Tapi kenapa kamu malah tidur disini dev?. Ayo debat lagi sama aku dev biar aku kesel sama kamu. Mau telfonan sama siapa lagi buat bertanya tentang hari ini, kalau aku ga bisa tidur siapa yang mau nemenin aku sleepcall?. Devv, aku... aku gabisaaa tanpa kamuu". Arsen meluapkan segala keluh kesahmya untuk terakhir kali, kini ia menangis di pusara devina. Sambil memeluk gundukan tanah dan nisan devina.

EccedentesiastWhere stories live. Discover now