1. Two Words

1.5K 110 9
                                    

Seoul, 2005




Pemuda tinggi itu terlihat men-dribble bola dengan raut angkuhnya. Sung Hanbin namanya, salah satu siswa paling populer di sekolah mereka. Ia adalah kapten tim basket disana. Sebelum pertandingan dimulai, ia sudah diberitahu bahwa akan ada beberapa perekrut dari sejumlah universitas ternama di Seoul yang akan bersedia memberinya beasiswa jika ia menang.

Namun, saat waktu istirahat babak, sesosok pemuda manis dengan seragam sekolah mereka datang dari arah pintu keluar. Jiwoong menyikut rusuk Hanbin, sahabatnya, begitu dilihatnya pemuda manis itu tampak sedikit kebingungan.

"Wanna guess who is that beauty?" kekehnya.

"Pacar lo lah, bego," Jiwoong memukul pelan bahunya.

"You're right, that's my boyfriend. Hao! Kok kamu baru dateng?" serunya seraya berlari ke arah Zhanghao, kekasihnya yang masih belum melunturkan raut bingung sekaligus cemasnya.

"Aku mau ngomong.. tapi nanti aja ya? I came to see you play," Zhanghao memberinya senyum tipis.

"No, tell me now. Pasti penting ya? Kamu sampe telat.. padahal sebelumnya nggak pernah telat."

"It can wait..." dalih Zhanghao. Hanbin pun mencengkeram kedua bahunya.

"Bilang ke aku sekarang, atau aku nggak akan main," ancam Hanbin.

Zhanghao mau tak mau membisikkan padanya kata-kata itu. Kata-kata yang membuat dunia Hanbin seketika runtuh. Hanbin mengusap wajahnya kasar, ia benar-benar kehilangan fokusnya untuk bertanding.

"Aku tunggu di luar aja. Selesaiin permainan kamu ya, Love," lirih Zhanghao. Ia mengecup pipi Hanbin, kemudian melangkah pergi dari area pertandingan.

- - -

Hanbin meninggalkan lapangan begitu saja di tengah babak terakhir, ia membanting keras bolanya dan berlari melewati pintu keluar. Ia mengejar Zhanghao yang tengah menunggunya di jembatan dekat sekolah mereka. Zhanghao pun menoleh dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu ngapain udah kesini? Pertandingan belum selesai.."

"Aku nggak peduli, Hao," Hanbin memberinya senyum simpul.

"Tapi nanti kamu nggak bisa kuliah, ini 'kan satu-satunya kesempatan kamu..."

"Screw it. The only future I want, is with you and our kids."

"Hanbin...."

"Ssh, jangan nangis," Hanbin membawa Zhanghao ke dalam dekapannya dan menepuki pucuk kepalanya. "Semuanya bakal baik-baik aja, aku janji."


- - - - -


Tiga bulan berlalu, baik Zhanghao maupun Hanbin pada akhirnya memiliki keberanian untuk memberitahu orangtua mereka dan meminta restu untuk menikah secepatnya.

Ibu Zhanghao adalah orangtua tunggal yang tidak lagi percaya dengan cinta dan pernikahan. Wanita yang masih terbilang muda itu mengusir Hanbin dari rumahnya, kemudian berteriak pada Zhanghao.

"Kamu gila ya? Anak kamu tuh kembar, Hao! Mikir nggak kamu gimana mau besarin mereka? Pacar kamu tuh orang susah, nggak beda jauh sama kita. Apa yang mau kamu harapin dari dia? Gugurin, Hao. Coba kamu mikir yang panjang!"

"Mama kok ngomongnya gitu? Gimana aku bisa bunuh anak-anak aku? Mereka udah hidup, Ma," Zhanghao menitikkan air matanya.

Wanita itu pun memukuli lengan dan punggungnya hingga ia menangis kencang, kedua tangannya memeluk perutnya secara protektif.

"Mulai sekarang, kamu udah bukan anak mama. Beresin barang-barangmu, pergi dari sini. Kamu sebegitu percaya 'kan sama laki-laki itu? Oke, lakuin aja sesuka kamu."

Sementara Hanbin yang bisa mendengar semuanya dari depan pagar rumah Zhanghao, ia diam-diam menitikkan air matanya. Rasa bersalah semakin merundunginya.

- - -

Hari semakin larut. Zhanghao berjalan berdampingan dengan Hanbin di taman, sembari membawa ransel berisi barang-barangnya di punggung.

"Katanya, janin di perut bisa ngerti perkataan kita. Jadi.. mulai sekarang kita harus ngomong yang baik-baik aja ya," ujar Zhanghao sembari mengusapi perutnya yang sudah mulai membuncit. Tentu saja, ada dua bayi di dalam sana.

"Hao.. apa nggak sebaiknya kita nyerah aja? Mama kamu bener," tanya Hanbin lirih, tanpa menoleh ke arah Zhanghao.

"Maksud kamu?"

"Shall we let them go?"

"Nggak. Aku udah bisa ngerasain mereka.. kamu tega?"

"Tapi aku nggak punya apa-apa."

"Ohh.. kamu takut ya? Nggak apa, Bin. You can walk away.. aku bisa kok besarin mereka sendiri. Makasih satu tahunnya, Bin," Zhanghao memaksakan senyumnya, kemudian berbalik arah menuju stasiun terdekat yang akan menjadi tempatnya bermalam.


- - - - -


Hanbin pulang ke rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia memberitahu semuanya pada ayahnya, dan lelaki itu menghajarnya tanpa ampun hingga sebelah telinganya berdengung.

"Kamu boleh hancurin hidup kamu, tapi jangan hancurin hidup dia juga. Bajingan kamu ya, Papa nggak pernah ajarin kamu buat jadi kayak gini!" lelaki itu berteriak di depan wajah Hanbin. "Pergi kamu dari sini. Jangan berani-berani lagi kamu nunjukin mukamu ke Papa. Dasar anak nggak tau diuntung."

"Fine, I'll go. Lagian, setelah mama pergi, papa juga nggak pernah bener-bener jadi papaku. Aku juga nggak butuh papa."




.....tbc


—————



A/N : halo. Gimana untuk permulaan? Belum apa-apa dah berat ya? Tenang, yang berat cuma di awal punya binneul😭 karna konflik utamanya ini, punya anak kembar terlalu muda.

Buat yang nonton dramanya pasti paham kan?

18 AGAIN (BinHao / GyuJin)Where stories live. Discover now