33. Still With U

294 24 7
                                    

Time skip : 3 years later






Yujin's POV




Pagi yang baru menyambut, dan seperti biasa aku akan menemani putraku bermain di ruang tamu sebelum ia harus pergi ke sekolah.

Hari itu cuaca cerah, namun tidak dengan mood Gyuvin. Belum apa-apa, ia sudah memasang raut masam sembari berjalan keluar dari kamarnya. Memasang dasinya dengan terburu-buru, sepertinya ia tengah mendapat omelan dari seseorang di seberang sambungan telponnya.

"Iya, Jake. Ini gue berangkat sekarang. Makanya kalo mau meeting tuh jangan dadakan.." protesnya, seraya menekan sebuah tombol pada mesin pembuat kopi instan yang memang selalu ditempatkan di meja makan. "Udah ya, gue tutup," ketusnya kemudian.

Pintu kamar putraku terbuka, dan Donghyun keluar dari sana dengan berpakaian lengkap serta rapih. Ia juga mengenakan sedikit riasan di wajahnya.

"Mau kemana, Gyu? Kok pagi banget?" tanyanya heran.

"Lo juga kok udah rapi?" Gyuvin menunjuk wajah Donghyun dengan telunjuknya. "Pake dandan segala, mau ketemu siapa?" memicingkan matanya.

"Hari ini 'kan rapat orangtua murid. Lo lupa ya?" Donghyun mengernyitkan hidungnya.

"Ooh.." Gyuvin pun membelalakkan matanya.

"Pake dasinya yang bener coba.. sini," Donghyun memanggilnya mendekat, kemudian memasangkan dasi Gyuvin dari awal. Gyuvin pun terkekeh, ia sedikit terhibur dengan raut serius Donghyun.

"Lo tuh kenapa sih nggak cari pendamping? Kayaknya lo udah siap deh jadi istri..." kekeh Gyuvin. "Bikinin dasi gue aja udah mahir banget. Dulu mah boro-boro, Keum."

Donghyun pun memukul kepalanya.

"Kalo gue nikah, terus Jaeyun sama siapa? Hm? Lagian.. nikah tuh ribet, nggak bebas ngapa-ngapain. Gue juga masih mau bandel kali..." cibir Donghyun.

Aku mendengus dengan pernyataannya. Donghyun yang sekarang, jika ia ingin menggila maka ia benar-benar melakukannya. Ia akan pergi ke club pada akhir pekan tertentu dan bercumbu dengan lelaki yang berbeda tiap kalinya. Ia pintar, para lelaki kelebihan hormon itu selalu bersedia membayarkannya minum dan ia tak perlu merogoh koceknya meski club yang ia masuki selalu berkelas.

Namun, ia tidak pernah lagi menyerahkan tubuhnya sembarangan, dan itu membuatku lega. Ia selalu pulang pada putraku, meski hari sudah berganti subuh.

Oh.. apakah kalian bingung kenapa aku mengetahui semuanya? You're right, I'm nothing more than a ghost.



- - - - -


Aku mengikuti Donghyun dan Jaeyun, putra kecilku ke sekolah dengan berjalan kaki. Apartemen Gyuvin memang berjarak lumayan dekat dengan taman kanak-kanak dimana putraku bersekolah.

Seekor anjing besar menggonggongi putraku saat kami lewat. Putraku merentangkan tangannya pada Donghyun dengan mata berkaca-kaca dan raut ketakutan. Donghyun pun membawa Jaeyun ke dalam gendongannya. Entah mengapa, semua anjing selalu menggonggongi Jaeyun setiap kali kami lewat. Itu membuatnya takut, pastilah ia akan memiliki phobia terhadap hewan menggemaskan itu saat ia besar nanti.

Donghyun memasuki pekarangan sekolah sembari masih terus menggendong Jaeyun. Ia baru menurunkannya saat ia harus memasuki ruang serbaguna dimana pertemuan orang tua murid akan berlangsung.

"Hai Jaeyun.. kita main yuk? Sini ikut Ssaem.." seorang wanita berambut pendek yang mengenakan apron mengulurkan tangannya pada Jaeyun. Putraku menyambutnya dengan malu-malu, ia menatap Donghyun seolah meminta izin untuk berpisah dengannya.

"Boleh, Bunny. Nanti kita ketemu lagi ya? Papi mau ketemu temen-temen mama dulu," Donghyun berlutut, kemudian memeluk Jaeyun mengecup pipinya. Hatiku berdenyut sakit, itu adalah hal yang sangat aku rindukan.

Jaeyun mengikuti salah satu gurunya ke ruang bermain anak-anak. Ia masuk dan lantas duduk menyendiri di sudut. Ia mengeluarkan buku sketsanya dari tas dan mulai menggambar. Sepertinya, untuk hal yang satu ini ia mewarisiku. Oke, mungkin satu-satunya kesamaan yang ia miliki denganku. Aku pun mendudukkan diriku di samping Jaeyun dan mengintip ke dalam buku sketsanya.

Jaeyun terlihat mencoba menggambar Donghyun, atau kupikir begitu. Ia membuat lingkaran dengan warna coklat dan merah menyala di atasnya. Ya, itu terlihat seperti wajah dan rambut Donghyun. Aku tersenyum gemas dan mencoba mengecup pipi putraku meski aku tidak bisa. Nothing new.

"Bunny.." Jaeyun menggumam dengan mulut kecilnya, sembari menggambar kelinci di atas kepala Donghyun.

"Kamu mau punya kelinci ya? Gimana caranya ya bilang ke papa.." aku mengusap pucuk kepalanya. Aku benci melihat rautnya yang berubah murung.

Aku pun memutuskan untuk pergi ke ruang kelas dan menemani Donghyun, aku tau ia juga pasti kesepian. Ia selalu menyendiri dan tidak mau berbaur dengan ibu-ibu lain, dan aku mengerti betul mengapa ia bersikap demikian.

"Anakmu masih bisu juga ya?" seorang wanita dengan pakaian dan gaya rambut yang terlihat mahal menghampiri Wonjin dan duduk di sampingnya.

"Eh.. Kak Hanni.." cicit Donghyun. "Anak gue nggak bisu kak.."

"Iya, tau. Maksudnya masih juga nggak banyak ngomong?"

"Iya.."

"Nih. Bawa ke terapis. Anak gue udah lumayan sekarang," wanita itu tersenyum seraya memberikan selembar kartu nama pada Donghyun.

"Makasih ya kak. Nanti gue coba."

"Pulang dari sini lo kemana? Ikut ke kafe yuk sama ibu-ibu lain?" Hanni, wanita itu meremat pelan bahu Donghyun.

"Gue ada janji sama temen-temen gue kak.." tolak Donghyun halus, tak lupa ia juga menyunggingkan senyumnya.

"Yahh.. sayang banget. Padahal kita pengen juga ngobrol-ngobrol sama lo. Kita tuh penasaran, tau."

"Penasaran kenapa?" Donghyun terkekeh pelan.

"Ada gosip yang bilang kalo Jaeyun tuh bukan anak lo. Katanya tuh lo simpenan bapaknya.."

"Hah?" Donghyun memekik, tidak sengaja sepertinya. "Gue? Simpenan? How come? I'm not even that attractive, alright," Donghyun kembali memelankan suaranya. Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat ini.

"Kalo gue simpenan.. kenapa ada ini di jari gue?" Donghyun mengangkat tangan kirinya, memamerkan cincinku yang dikenakannya. Ya, itu adalah cincin yang Gyuvin tidak sempat berikan padaku karena hubungan kami berakhir lebih cepat dari angin.

Donghyun sengaja memakainya setiap pertemuan semacam ini, ia sudah mengantisipasi bagaimana mulut-mulut tidak bertanggung jawab itu akan selalu mencari cara untuk menjatuhkannya. Kenapa? Tentu saja karena ia berbeda.

Mereka perempuan dan ia satu-satunya lelaki yang memegang peran ibu di antara mereka, bukankah itu berbeda?


.....tbc

—————

A/N : halo. Gimana untuk awal? Dari sini udah bisa ditangkep belum?

Terus.. hayo kok tibatiba Gyuvin seatap sama Keum alias temen sekaligus musuh bebuyutannya?

18 AGAIN (BinHao / GyuJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang