35. His Little Prayer

274 26 20
                                    

Normal POV





Gyuvin memasuki rumahnya dengan langkah gontai, dan seperti biasa pula, Donghyun menyambutnya dan membawakan tas kerjanya.

"Lo kenapa? Kok ditekuk banget tuh muka?" Donghyun terkekeh sembari menepuki pipi Gyuvin dengan sedikit keras.

"Biasa."

"Cuci tangan sana. Kita langsung makan ya? Gue takut Jaeyun udah kelaperan.."

"Makanya, besok-besok kalo gue pulang telat nggak usah ditungguin. Kurang kerjaan," dengus Gyuvin. Donghyun lantas membelalakkan matanya.

"Gyu.. kok gitu? Jaeyun 'kan mau makan sama papanya.."

"Iya iya. Yaudah, buruan. Gue capek sebenernya pengen langsung tidur."

Mereka bertiga pun makan tanpa banyak bicara. Donghyun sesekali melirik pada Gyuvin yang tampak mengerutkan keningnya. Ia bahkan tidak menyentuh makanannya, hingga akhirnya Donghyun yang menyuapinya.

"Papa maam.." ujarnya disertai senyum sumringah di wajah mungilnya.

"Diem kamu," ketus Gyuvin seraya menepis tangannya. Tidak terlalu keras, memang, tapi itu cukup untuk membuat sendoknya terjatuh di lantai.

"Gyu! Kok gitu? Lo kenapa sih?" tukas Donghyun.

"I'm done," Gyuvin bangkit berdiri, kemudian pergi ke kamarnya dan menutup pintunya dengan sedikit membanting.

"Papa marah.." Jaeyun menatap Donghyun berkaca-kaca. "Aku nakal ya Pi?"

"Nggak, sayang, nggak.. anak Papi paling baik.." Donghyun membawa Jaeyun ke pangkuannya. "Maafin Papa ya sayang.. Papa capek," ucap Donghyun lembut, diakhiri kecupan pada pipi Jaeyun.

Yujin berlutut di sisi Donghyun, tangan kurusnya menggapai pucuk kepala Jaeyun dan mengusapinya.

'Sampe kapan kamu mau benci sama anak kita, Gyuvin? Ini bukan salahnya.. ini salah aku..'

Yujin menitikkan air matanya, ia kini duduk bersimpuh di lantai. Ia benci bagaimana ia benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa.




- - - - -




Malam harinya, Yujin pergi ke taman kota yang dulu seringkali didatanginya bersama Gyuvin. Ia duduk merenung, tangisannya masih belum juga berhenti. Hatinya benar-benar sakit, ibu mana yang tega melihat anaknya dibentak tanpa punya salah?

Ia mendongak pada langit yang masih menurunkan hujan sedikit gerimis. Ia memohon agar Tuhan memberikan hati yang sedikit lunak pada mantan kekasihnya. Ia tidak ingin anaknya terus-terusan dibenci hingga beranjak dewasa nanti. Bagaimana pun, sosok seorang ayah sangat penting untuk anak lelaki.

"I knew you'd be here," seseorang dengan suara baritone menginterupsinya. Ia menolehkan kepalanya, mendapati Baekseung yang tengah berjalan ke arahnya.

Yujin terkejut, tentu saja. Ia menatap Baekseung, kawan lamanya itu dengan mata membelalak.

"Baek.. kamu bisa liat aku?"

Baekseung mengulaskan senyum segaris. Ia mendudukkan dirinya di samping Yujin, memberi sedikit jarak di antara mereka. "Gyuvin.. dia masih belum berubah ya?"

"Kamu tau dari mana?" lagi-lagi, Yujin membelalakkan matanya.

"Tadi Keum nelfon gue.. dia cerita sambil nangis-nangis. Gue salut tapi kasian sebenernya sama Keum.. dia udah bener-bener kayak ibunya Jaeyun. We got a really good friend right there, you're lucky."

"Aku tau," kini, Yujin tersenyum kecil. "Gyuvin.. dia masih aja nyalahin Jaeyun.."

"For your death?" sela Baekseung. "Is that why you're still here? Gila tuh orang.. padahal dia yang salah. Gue pikir selama ini lo udah tenang, udah pergi ke atas."

"Salah satu dari sekian banyak alasannya. Aku nggak bisa.. aku nggak mau pisah sama anakku. Keum juga belum dapet pendamping. He needs to be happy too. Aku nggak akan biarin dia seumur hidupnya cuma ngurusin Jaeyun sedangkan papanya aja nggak peduli."

"Gue bisa bantuin lo. Ayo ikut gue ke kuil," Baekseung menepuk bahunya.

"Kuil? Mau berdoa?"

"No, just trust me."

- - -

Sesampainya di kuil, Baekseung masuk dan menggantung kertas permohonan di atas altar. Ia bersujud dan menyatukan kedua tangannya untuk memanjatkan doa, sementara Yujin menunggu di belakangnya.

Setelah Yujin selesai, mereka keluar dan berjalan berdampingan. Mereka berhenti di depan sekolah Jaeyun, dan Baekseung mengambil secarik kertas berwarna kuning dari saku celananya. Ia menempelkannya pada bagian dalam kotak pos sehingga tidak ada orang lain yang bisa menemukannya.

"Itu apa?" tanya Yujin.

"Buat halangin arwah lain masuk ke sekolah anak lo. Kalian tuh nggak semuanya baik, ini cuma buat jaga-jaga. Harusnya gue ngelakuin ini dari lama sih," Baekseung meringis.

"Kenapa harus? Apa bahaya? Bukannya kami nggak bisa nyentuh manusia ya?"

"Arwah lo tuh udah ada sama anak lo sedari dia belum 3 tahun. Itu artinya anak lo lebih peka dari yang lain. Bisa jadi, suatu saat dia bakal ngeliat lo juga. Energi kalian tuh nyampur," jelas Baekseung seraya merapikan helaian rambut Yujin yang sedikit lari dari tempatnya.

"Kalo dia bisa liat aku.. kayak kamu gini.. berarti aku bisa nyentuh dia juga?" Yujin bertanya dengan suara bergetar.

"Ngerti maksud gue 'kan? Udah tau bahayanya dimana? Gue bakal taruh kertas kuning kayak tadi di depan pintu apartemen Gyuvin juga nanti."

"Berarti aku nggak bisa masuk juga dong nanti?" Yujin kini mencebikkan bibirnya.

"We'll see that when the sun rises. Sekarang.. lo cari tempat yang aman ya buat berteduh. Jangan di rumah lo."

"Hah? Kenapa? Aku udah biasa nemenin Gyuvin tidur.."

"Ya pokoknya jangan kalo lo nggak mau dia jantungan. Abis itu, besok ketemu sama gue di taman tadi, sebelum jam makan malem. Ngerti?"

Yujin lagi-lagi mencebik, namun pada akhirnya ia mengangguk.

"Percaya sama gue 'kan?" tanya Baekseung lagi, sembari mencolek bagian bawah dagu Yujin.

"Iya iya. Nggak usah gitu deh, masa sama hantu aja kamu genit. Pantesan Keum nggak mau..."


'Masih sama aja ya galaknya kayak dulu.'









.....tbc

—————

A/N : ada yang mau menebak apa yang bakal terjadi sama Yujin berikutnya?

18 AGAIN (BinHao / GyuJin)Where stories live. Discover now