23. Guilt

303 25 5
                                    

Gyuvin's POV






Pagi harinya, aku terbangun karena suara muntah Yujin di kamar mandi. Aku buru-buru menyusulnya dan memijat tengkuknya agar ia merasa lebih baik.

"Kamu sakit lagi?" tanyaku. Ia hanya meresponku dengan anggukan. "Ke rumah sakit yuk?"

"Nggak usah.. kamu harus sekolah," cicitnya. Aku pun membantunya bangkit berdiri dan membasuh wajahnya yang sepucat kertas.

"Aku takut kamu kenapa-napa.. udah dua hari berturut kamu gini terus."

"Nanti juga ilang kok."

Aku menanggapinya dengan menaikkan sebelah alisku.

"Omong kosong. Udah ayo ke dokter.. nggak usah mikirin duitnya. Biar aku yang tebus..." desakku.

"Nggak usah khawatir berlebihan deh. Udah sana kamu siap-siap sekolah. Biar aku nanti ke dokter sendiri," ia memutar tubuhnya dan menepuk pucuk kepalaku berulang kali.

"Kalo gini caranya juga aku sekolah nggak tenang.." aku mengecup dahi Yujin lama, sembari mengusapi punggung ringkihnya. "Kamu nggak usah masak sarapan ya? Baringan lagi aja.. aku bisa masak juga kok.."

"Nanti kamu bikinnya ramyeon instan lagi," cibirnya.

"Itu 'kan juga masak namanya," cengirku. Ia lantas mengernyitkan hidungnya dan memukul bahuku pelan.


- - - - -


Jam makan siang tiba, dan Wooseok sudah menunggu kami di kantin. Ia terlihat berbeda, kedua matanya sembab dan bibirnya terlihat pucat. Aku ingin bertanya apa yang salah dengannya, tapi aku canggung. Ia memeluk Wonjin dan mengecup pipinya, lalu membuka rantang bekal yang ia bawa untuk dihidangkan kepada adiknya itu.

Minji bergabung dengan kami tanpa kuminta, ia duduk di sampingku dan langsung bersandar pada bahuku yang lantas kugoyangkan karena aku merasa risih.

"Kok gitu sih lo?" protesnya.

"Nggak ada sender-senderan. Lo berat," dengusku. Ia pun memberi jitakan keras pada kepalaku, namun ia juga dengan cuek mengambil sepotong ayam goreng dari rantang Wooseok.

"Lo masaknya banyak juga kak, tumben," kekeh Wonjin.

"Sekalian buat Serin sama temennya nanti. Mereka mau ke rumah."

"Oh.. pantesan. Nurut juga tuh brondong sama lo. Lo kasih apaan kak?"

"Maksud lo?" Wooseok menaikkan sebelah alisnya.

"Ya gue bingung aja kak sama lo. Lo tuh udah punya anak.. cari laki yang bener gih. Jangan bocah yang lo kejar terus."

"Biarin! Serim doang cowok yang baik sama gue tanpa minta imbalan badan gue..."

"Itu karna dia emang nggak mau sama lo, kak. Dia cuma respect."

"Iya.. tau kok. Oh iya, dua hari ini masa Kak Jinhyuk ke tempat kerja gue terus," Wooseok mencebikkan bibirnya. "Jangan-jangan dia kangen sama gue? Tapi gue nggak mau nganter minuman ke meja dia... takut," senyum Wooseok seketika luntur.

"Mungkin dia penasaran sama anak kalian, kak."

"Emang dia peduli? Kangen nidurin gue kali yang bener," Wooseok meringis, menampilkan deretan giginya yang rapih.

Seketika, aku teringat Yujin. Mataku membelalak, aku meraih ponselku dan mencoba menghubunginya.

Yujin mengangkat panggilanku dalam hitungan detik, nafasnya menderu di seberang sana.

"Halo.. hei, kamu dimana?" tanyaku. Minji menoleh padaku dengan malas, raut wajahnya berubah masam.

"Aku di rumah.. nggak kemana-mana. Kenapa?"

"Kok nafasnya berat gitu? Kamu abis nangis?"

"Nggak kok.."

"Bohong! Udah ke dokter?"

"Udah. Ini aku baru pulang. Eung.. aku tutup ya? Mau tidur siang.. nanti malem kerja."

"Kamu sakit apa? Jawab dulu!" aku menaikkan nada suaraku, membuat kawan-kawanku yang baru saja akn bergabung di meja menatapku aneh.

"Cuma masuk angin, soalnya aku pulang pagi terus. Kenapa sih cemas berlebihan gitu?"

Ia terdengar jengkel, namun itu justru membuatku lega sekaligus gemas.

"Oke, nggak aku ganggu lagi deh. Aku tutup ya? Have a good nap."

Aku memutuskan panggilan, dan Minji merebut ponselku untuk melihat chatroom kami tanpa seizinku.

"Kenapa sih kalo sama gue lo cuek banget? Giliran sama Yujin.." lirihnya. Aku merebut kembali ponselku dan menyimpannya di saku, tidak berniat untuk berdebat dengannya.

"Lo sejak kapan pake aku-kamu sama Yujin?" Wonjin bertanya sembari memicingkan matanya padaku.

"Dari kecil.. emang kenapa?" ujarku cuek.

"Nyadar nggak sih? Lo sama Minji tuh lebih kayak temen dibanding lo sama Yujin?"

"Mau gimana? Dia emang spesial buat gue kok..."

"Minji masih pacar lo, bocah. Nggak boleh gitu," ujar Wonjin.

"Gue nggak selingkuh! Kok kalian seolah nuduh gue kayak gitu?" ujarku tak terima.

"Udahan berantemnya, makan dulu. Kenapa si Yujin? Sakit apa dia?" tanya Wooseok seraya memberiku sepotong ayam di atas daun selada yang juga ia sediakan.

"Masuk angin. Mana nanti malem masih nekat mau kerja.. gimana gue nggak kesel coba?" aduku.

"Dia mah kayaknya harus nunggu nggak bisa bangun deh baru nggak kerja. Kemaren malem aja dia lesu banget abis lo pulang. Senderan mulu di pojok, ketara emang nggak enak badan," lagi-lagi, Wooseok misuh.

"Gue jadi pengen pulang deh rasanya. Mau ngurusin dia.."

"Oh gitu? Perasaan pas gue sakit lo cuma bilang get well soon.. nggak ada repot-repot mampir," Minji berkata dengan sinis.

"Dia tuh rewel kalo sakit, mendadak jadi tuan puteri. Kalo lo 'kan bisa semuanya sendiri..." aku menepuk-nepuk kepala Minji untuk menenangkannya, meski dengan setengah hati. Ia lantas mendengus dan menepis pelan tanganku.

"Oke, gue ngerti kok," cicitnya. "Nggak apa. Yujin-mu itu emang yang paling penting, gue nggak mungkin menang dari dia."

Aku yakin, ia sengaja mengatakannya agar aku merasa bersalah.





.....tbc

—————

A/N : terserah lo deh mbak.

18 AGAIN (BinHao / GyuJin)Where stories live. Discover now