39. Familiar

185 22 1
                                    

Sore harinya, aku terkejut mendapati Gyuvin di taman. Aku bisa mengintipnya dari ruang bermain yang menghadap langsung ke parkiran.

Ya, aku langsung diterima untuk bekerja disini omong-omong, karena mereka benar-benar membutuhkan. Asisten koki yang lama mengundurkan diri karena tidak tahan dengan upah yang terlalu kecil. Namun untukku tidak masalah, toh aku bukan ingin berfoya-foya disini.

Lalu.. Gyuvin kemari untuk menjemput Jaeyun? Sejak kapan ia mau melakukannya? Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku harus bersembunyi atau muncul dan menyapanya?

Jaeyun masih sibuk bermain dengan boneka kelincinya yang ia naikkan ke atas mobil-mobilan. Gyuvin sepertinya tidak sabar, ia kini berjalan ke arah ruang bermain ini. Apa ia akan mengintip dari kaca?

"Jaeyunnie.. Papa dateng. Kita keluar yuk?" ujarku lembut. Jaeyun mengangguk, kemudian menarik tanganku seolah ingin membantuku berdiri. Baiklah, biar aku saja yang mengantar anakku pada Gyuvin.

Memang sudah seharusnya begitu, bukan?

Aku membantu Jaeyun memakai sepatunya, lalu membawakan tasnya dan menggandeng tangannya, menuntunnya ke parkiran.

"Papa.." cicit Jaeyun saat Gyuvin menoleh ke arah kami. Gyuvin membelalakkan matanya saat pandangan kami bertemu. Ia memegang dadanya sendiri, aku tau betul apa yang ada di pikirannya sekarang.


- - - - -


Gyuvin's POV



Aku benar-benar terkejut melihat Wei menggandeng tangan anakku.. aku pikir aku melihat hantu. Wei mengenakan apron yang sama dengan guru yang lain, apakah artinya ia sekarang bekerja disini?

"Hey, handsome. So you have a son already?" Wei menyapaku dengan senyum cerah di wajahnya.

"Sorry about that.. I haven't told you. But incase you're wondering, I'm still single alright?" aku terkekeh gugup.

Jaeyun memeluk pinggang Wei saat aku menatapnya. Seperti biasa, ia takut padaku dan aku tidak keberatan. Sungguh, kalau bukan karena Donghyun sakit hari ini, aku tidak akan repot-repot menjemputnya.

Tapi.. apakah aku harus berpura-pura baik padanya untuk memikat Wei? Tidak, tidak.

Memikirkannya saja aku tidak sanggup. Lebih baik aku mengacuhkannya seperti biasa. Juga.. apa aku harus lebih sering menjemputnya agar aku mudah bertemu Wei seperti sekarang?

"Yeah, I can definitely tell. There's no ring on your finger," Wei menunjuk pada tangan kiriku.

Ya, tentu saja tidak ada. Aku tidak sempat menikahi Yujin, dan cincinku masih tersimpan dengan baik di laci nakas.

"Gue boleh ngajak lo makan malem lagi nggak hari ini? Lo udah pulang kerja 'kan?" ajakku.

"Iya, udah kok. Jaeyun yang terakhir dijemput, aku bisa pulang juga sekarang."

"Ya ampun.. lo nungguin sampe anak terakhir pergi? Yang lainnya udah pulang dari tadi? Looks like you're really meant for this job. Do you like kids?"

"Why wouldn't I? I'm a kid too," ia mengernyitkan hidungnya.

God! Ia lucu sekali, aku benar-benar akan jantungan.

"Nice, thanks for reminding me that. But I'm not that old to take you out, right?" aku menepuk pucuk kepala Wei.. dan merutuki diriku sendiri setelah itu saat aku melihatnya menunduk. Lagi-lagi, semburat merah muda itu muncul di pipi bulatnya.

Sial.. apa aku secepat itu membuatnya jatuh? Atau aku hanya berlebihan?

Kami pun pergi dari sana. Aku mengantarkan Jaeyun pulang dulu dan memarkirkan mobilku. Saat dengannya, entah mengapa aku lebih menikmati berjalan kaki atau naik kendaraan umum. Untuk mengulur waktu, mungkin? Saat bersamanya, aku ingin semuanya berjalan lambat, sama dengan saat-saatku bersama Yujin dulu.

God, am I actually falling or is this just because of that familiar feeling? I need help.

- - -

Wei mengajakku pergi ke tempat es krim yang lumayan sepi, itu ide bagus karena aku ingin benar-benar mengobrol dengannya. Banyak sekali yang ingin aku ketahui tentangnya.

Kami duduk di sudut, ia langsung memilih sofa karena ingin bersandar dengan nyaman. Ia memesan rasa rainbow, dan itu membuatku sedikit sesak.

Astaga. Bahkan ia menyukai hal yang sama dengan Yujin-ku. Aku yakin ini benar-benar takdir, Tuhan telah mengirimkan seorang pengganti untukku.

Wei menyelipkan rambut sampingnya ke belakang telinga, dan saat itulah aku benar-benar menahan nafasku. Piercing berbentuk kelinci di bagian atas telinganya... itu sama dengan yang kuberikan pada Yujin saat ia pertama kali menindik telinganya. Satu bulan sebelum Jaeyun lahir, lebih tepatnya. Apakah ini hanya kebetulan lain?

"Wei.. lo beli anting itu dimana?" aku menyentuh daun telinganya, mengusapnya pelan. Sedikit nekat memang.. ia lantas menepis tanganku dan menatapku galak.

"Jangan pegang kupingku, aku nggak suka!" ketusnya.

"Ooh.. oke.. maaf.." gugupku.

See? Bahkan untuk yang satu itu juga sangat Yujin.

Untuk beberapa saat, kami saling terdiam dan canggung. Aku menyalahkannya pada tanganku yang bergerak sendiri.. menyentuh orang lain seperti itu memang tidak sopan.

"Maaf.." cicit Wei saat pesanan kami datang di meja.

"Hm?" aku menaikkan alisku dengan heran. "Kenapa?"

"Aku beli ini di Myeongdong.. if you're wondering. No.. my ex gave it to me as a gift.. and I just don't want to take it off. Maaf tadi udah ngebentak kamu.. aku kaget soalnya, tiba-tiba kupingku dimainin.." ia meringis, memamerkan gigi kelincinya.

"Nggak apa, Wei. Tangan gue emang suka bandel.."

"Hahahah! Tapi kamunya bandel juga nggak?"

"I assure you I'm not," aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Yeah.. I believe you," Wei menyunggingkan senyumnya yang begitu cantik.


Baiklah. Aku jatuh. Aku benar-benar jatuh. Yujin, aku harap kau memaafkanku.






.....tbc


—————



A/N : terlalu mirip buat diabaikan ya pin?

Akan ada apa ya abis ini...

18 AGAIN (BinHao / GyuJin)Where stories live. Discover now