29. And They Met Again

304 28 3
                                    

Time skip : 2 years later




Hari itu, adalah hari pertama orientasi di sebuah universitas di ibukota.

Hanbin terlambat!

Sial, pikirnya.

Hari pertama dan ia sudah akan dipermalukan, ia rasa. Bukankah masa orientasi selalu seperti itu?

Hanbin memasuki barisan khusus untuk murid yang terlambat. Di depannya telah berdiri seorang pemuda berperawakan mungil dengan surai kelam dan poni sedikit gondrong menutupi mata. Pemuda itu mengenakan celana jins yang tidak terlalu ketat dan hoodie berwarna abu-abu yang kebesaran, membuatnya terlihat semakin mungil.

Mereka semua dipersilakan duduk bersila di lapangan untuk absen. Hanbin mengomel karena risih dengan nametag yang digantung di lehernya, dan lelaki mungil di depannya menoleh karena sedikit terganggu. Kaki panjang Hanbin baru saja menendang punggungnya, memang tidak terlalu sakit namun cukup membuatnya terusik.

"Eh kamu.." cicit pemuda mungil itu.

Hanbin merogoh sakunya, mengambil ponselnya dan menghubungi nomor terbaru yang ia simpan disana. Hanya untuk memastikan, pikirnya.

Dugaannya benar. Ponsel pemuda mungil itu berdering nyaring hingga semua mata memandang ke arah mereka.

"Yujin.." Hanbin berucap pelan sembari membaca nametag di leher kawan barunya. "Kamu.. selama ini kemana aja?"

"Nggak kemana-mana kok," Yujin mengulum senyumnya.

"Pulang nanti, ada waktu? Makan eskrim yuk.. I'd like to recall some memories," Hanbin memberinya senyum segaris.


- - -


"Jadi.. kamu selama ini kemana aja?" Hanbin menyatukan jari-jarinya di bawah dagu, menatap lurus pada Yujin yang tengah sibuk menyantap eskrim-nya.

"Aku? Aku udah bilang nggak kemana-mana.. masih di Seoul," Yujin mengulas senyum tipis.

"Kamu pergi nggak pamit sama siapa-siapa, bahkan Wonjin. Sekarang kamu sama dia malah kayak nggak kenal gitu..."

"Aku bingung gimana harus mulai lagi sama Wonjin," sela Yujin. Ia seketika kehilangan nafsu makannya. Sungguh, ia sudah mencoba menyapa Wonjin tadi, tapi lelaki itu memberinya tatapan terluka dan lalu mengacuhkannya. "Dia yang hindarin aku."

"Wajar. Kalian deket, tapi dia nggak kamu kabarin apa-apa. Dia selama ini khawatir mikirin kamu. Kamu tuh kemana sih sebenernya?" Hanbin menangkup sebelah tangan Yujin di atas meja, berharap ia bisa mendapat jawaban saat itu juga.

"Gyuvin nggak ada cerita apa-apa ke kalian?" Seongmin berujar lirih.

"Nggak. Setelah kita lulus, nggak kontakan lagi. Kamu masih sama dia?" Hanbin memicing, tiba-tiba saja ia terdengar marah.

"Aku udah nggak sama dia, tapi tetep tinggal di rumahnya, selama itu."

"...hah?"

"Ikut aku abis ini.. nanti kamu ngerti."


- - - - -


Hanbin mengerjapkan matanya, menahan air matanya untuk tidak jatuh saat ia memasuki kamar yang terletak di loteng rumah orangtua Gyuvin.

"Selama ini aku tinggal disini.. sama dia," Yujin menuntun Hanbin ke arah tempat tidurnya yang diberi pembatas di sisi kanan dan kiri. Seorang bayi laki-laki tengah tertidur disana, dalam posisi tengkurap.

"Mamanya Gyuvin biayain aku buat home-schooling sampe lulus, karna harusnya itu tanggung jawab Gyuvin yang udah bikin aku putus sekolah. Biaya melahirkan aku dulu, kebutuhannya Jaeyun, itu juga dari tante.."

"Terus kamu ngapain kerja di club segala?" Hanbin sontak menaikkan nada suaranya.

"Karna aku nggak tau diri kalo bebanin itu ke tante juga. Kamu jangan marah dulu, Ben, aku sama Gyuvin tuh sekarang nggak ada status. Makanya aku tinggalnya disini, di loteng, bukan di kamar dia.." Yujin menepuk lembut punggung putranya, ia takut bayinya itu terusik karena keributan yang Hanbin buat.

"Tapi kamu bisa aja turun ke bawah, ke kamarnya, terus tidur sama dia. Aku tau kamu kayak gimana.. gampangan. Buktinya kerja kamu aja nggak halal 'kan? Kemana si Gyuvin itu sekarang?"

"Dia tinggalnya di dorm, nggak disini. Dia mau debut jadi solois. Aku disini cuma sama dia dan tante. Kamu kenapa sih nggak dengerin aku dulu dan langsung nilai aku macem-macem? Kalo aku nggak kerja kayak gitu, gimana aku mau kuliah dan dapet kerja yang bener nanti? Kamu pikir hidup jadi aku tuh gampang ya? Aku juga nggak mau, Ben. Aku malu harus sok ramah sama orang. Tapi asal kamu tau.. aku juga punya batas. Aku nggak jual badanku."

"Jadi maksudnya, kamu kerja di tempat gitu..." cicit Hanbin.

"Cuma nuangin minuman. Yang dateng kesana biasanya bapak-bapak. Aku duduk dan nuangin minum aja mereka udah kasih aku uang yang lumayan. Aku nggak sembarangan, Ben, apalagi aku udah punya anak. Gimana kalo namaku nanti jelek?"

Hanbin menangkup wajah Yujin yang kini jauh lebih tirus dari yang terakhir ia ingat. Menghapus air matanya yang berlomba dengan ibu jarinya.

"Jangan nangis... aku minta maaf."

Yujin menggeleng, menyingkirkan tangan Hanbin dari wajahnya.

"Kamu jahat sama aku. Kamu belum berubah. Dulu juga kamu giniin aku, nilai aku sesuka kamu tanpa dengerin aku dulu," seulas senyum ia beri pada Hanbin yang kini ikut menitikkan air matanya.

"Iya, aku jahat.. maafin aku.." Hanbin membawa Yujin ke pelukannya, membiarkan lelaki mungil itu sesenggukan. Menit-menit berlalu tanpa mereka mengubah posisi.

- - -

"Aku udah lama nggak nangis," cicit Yujin, setelah ia sedikit lega. Ia dan Hanbin berbaring di kasurnya, saling berhadapan dengan Jaeyun kecil di tengah mereka. "Makasih."

"Kok makasih?" Hanbin menaikkan sebelah alisnya.

"Ya.. makasih. Lega jadinya. Kamu pulang gih, aku harus mandiin Jaeyun dan kasih dia makan, abis itu mau siap-siap berangkat kerja."

"Tapi aku masih mau ngobrol," Hanbin mengusap sebelah pipi Yujin yang selembut kapas. "Aku boleh nggak, bantu mandiin Jaeyun?"

"Kamu bisa?" ragu Yujin.





.....tbc


—————



A/N : hayo. Ada apa sama gyujin dalam kurun waktu selama itu?

18 AGAIN (BinHao / GyuJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang