68 - Kesaksian Ismail

146 49 26
                                    

.

.

Sidang ini sungguh lengkap dramanya. Drama kriminal sampai percintaan ada.

.

.

***

Yunan dan Raesha berunding dengan jaksa. Elena dan Rizal juga ikut dalam perundingan itu. Akhirnya diputuskan yang akan diambil kesaksiannya cukup Ismail saja. Toh Ismail dan Ishaq mengalami hal yang sama. Pasalnya, Yunan dan Raesha mengkhawatirkan kondisi mental Ishaq yang masih sangat kecil. Sementara Ismail lebih bisa diandalkan untuk tegar bersaksi di pengadilan.

"Aku bisa bersaksi, kok, Om!" rengek Ishaq sambil menarik ujung jaket Yunan.

"Gak usah, sayang. Kamu duduk aja sama Om Adli, ya," kata Yunan seraya mengusap kepala Ishaq.

"Yuk, Ishaq. Kita duduk di sana, bareng Eyang dan Tante Arisa," bujuk Adli meraih tangan mungil Ishaq. Ishaq manut meski ia sebenarnya kesal. Meski orang-orang tidak bilang, dia paham kalau dirinya dianggap masih terlalu kecil untuk jadi saksi di pengadilan.

Arisa melihat dari kejauhan, Yunan dan Raesha masih berbincang dengan jaksa, sebelum keduanya kembali ke kursi mereka di barisan depan. Sekiranya orang-orang tidak mengenal siapa mereka, Yunan dan Raesha mungkin akan ditebak orang sebagai suami istri. Yunan mengkhawatirkan Ismail dan Ishaq, seolah-olah kedua anak itu adalah anak kandung Yunan juga. Arisa membuang muka. Tidak. Sampai kapan rasa cemburu ini akan menggerogoti hatinya?

Erika melirik ke Arisa yang duduk di sampingnya. Drama cinta segitiga mereka, masih berlangsung, ya? Pagi tadi kira-kira kenapa Raesha menolak semobil dengan Yunan dan Arisa? Raesha bisa saja beralasan, mobil yang membawa Yunan takutnya terlalu penuh jika membawa serta dirinya dan anak-anak. Tapi sepertinya bukan itu alasannya. Mungkinkah sesuatu terjadi di antara mereka bertiga? Sepertinya nanti aku perlu bicara empat mata dengan Raesha, batin Erika. Pasca musibah rumah Raesha disantroni Sobri, Raesha disibukkan dengan persidangan dan urusan dengan polisi. Lama tidak pernah ada sesi curhat antara Raesha dengan Erika.

Hakim masuk ke ruang sidang. Orang-orang berdiri memberi penghormatan, lalu dipersilakan duduk lagi.

"Saksi dipersilakan duduk di kursi pemeriksaan."

Ismail menuju ke arah kursi saksi, dengan langkah tenang. Theo hanya melirik sekilas anak itu. Anak sulung dari Ilyasa Ahn, da'i yang sudah almarhum. Tampang Ismail persis bapaknya. Sambil melengos, Theo melipat tangan dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ini akan jadi membosankan. Kesaksian seorang bocah di pengadilan. Ck.

Ismail duduk di kursi pemeriksaan, ditatap khalayak ramai, dan disorot kamera wartawan yang menyiarkan sidang secara langsung.

Mata Ismail bertemu dengan tatapan Yunan yang duduk di samping ibunya. Bibir Ismail terangkat sedikit, teringat pesan Yunan tadi, sebelum pengadilan dimulai.

"Jawab secukupnya, sesuai dengan pertanyaan. Tidak perlu menceritakan hal di luar pertanyaan. Jangan tegang dan takut. Kamu bukan tersangka, tapi korban. Kamu tidak sendirian. Keluargamu ada di sini. Oke?" kata Yunan sebelum tersenyum hangat.

"Oke, Om," jawab Ismail dengan anggukan dan balasan senyum untuk Yunan.

Pesan itu ditutup Yunan dengan pelukan bersahabat, tapi Ismail merasa pelukan itu lebih seperti pelukan seorang bapak pada anaknya. Ismail melihat ibunya tersenyum haru. Dia selalu tahu, ibunya senang melihat Yunan dekat dengan keponakan-keponakannya. Sesuatu yang dulu tidak terjadi saat bapaknya Ismail masih hidup.

"Saksi bernama Ismail Ahn. Usia sebelas tahun. Siswa Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hasanah. Alamat rumah ... ." Dimulai pembacaan biodata saksi oleh salah seorang hakim.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now