Part 28 - Masa Lalu Sean

150K 9.4K 469
                                    

Flashback

Segalanya dimulai sejak Sean masih kanak-kanak. Saat itu ia masih berusia sepuluh tahun dan sedang dikurung oleh ayahnya di gudang karena tidak mendapatkan nilai sempurna untuk ujian matematikanya. Ia mendapatkan nilai 95. Nyaris sempurna. Dan ayahnya mengurungnya untuk itu.

Ayahnya seorang yang perfeksionis. Tapi ia super perfeksionis terhadap anak laki-lakinya. Tidak ada istilah kegagalan dalam kamus ayahnya. Segalanya harus sempurna baginya. Sean sudah menguasai lima bahasa di usianya saat ini, tidak lepas dari ajaran otoriter ayahnya.

Ayahnya kerapkali memukuli tangannya dengan rotan atau apapun yang bisa dipakai oleh sang ayah sejak masih kecil jika ia melakukan kesalahan. Sean selalu menerimanya. Ia tahu ia harus selalu menuruti ayahnya, jika tidak ingin menderita.

"Sean!!" seseorang mengetuk-ngetuk jendela dan Sean menoleh ke arah jendela yang ada di sudut atas gudang. Jendela itu sudah pecah dan terhalang oleh dua buah papan yang dipaku ke sana. Ada celah diantara dua papan, kira-kira selebar sepuluh senti.

Sean menaiki tumpukan barang dan menyeimbangkan dirinya. Ia berhasil melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata Michelle, kakaknya.

"Aku membawakan makanan dan air untukmu." Michelle menyelipkannya di antara celah itu.

"Ayah pasti akan menghukummu jika tahu tentang ini, Chel." Sean menerimanya dengan tergesa-gesa. Ia mengkhawatirkan Michelle meski kakaknya itu menerima kemarahan ayahnya tidak sesering dirinya.

Michelle sering menyelundupkan makanan untuknya jika ia dihukum dan Sean sangat bersyukur karenanya. Ayahnya tidak akan memberikannya makan mulai dari makan malam hingga ia pulang sekolah keesokan harinya. Uang saku pun tidak didapatkannya.

Ia anak seorang miliuner, tapi hidupnya lebih mengenaskan dibanding anak gelandangan.

Tapi besok Michelle pasti akan membagi uang sakunya pada Sean diam-diam.

Michelle menyayangi Sean dan Sean menyayanginya. Mereka seperti itu karena merasa memiliki persamaan. Merasa terkekang oleh ayah mereka.
Michelle ingin menjadi seorang pianis tapi ayah mereka tidak mengizinkan. Sean sering mengantar Michelle ke ruang musik sekolah secara sembunyi-sembunyi dan mendengarkan permainan Michelle. Michelle sudah dijodohkan oleh seseorang. Ibu mereka, Marinka tidak bisa melawan ayah mereka dan hanya dapat bersedih melihat setiap kali suaminya memberikan hukuman pada anak-anaknya.

"Kenapa kau menerima perjodohan itu?" suatu ketika Sean bertanya saat Michelle memainkan piano.

"Aku ingin bermain piano, Sean." sahutnya.

"Kau sedang bermain piano sekarang."

Michelle menggeleng. "Aku ingin lepas dari keluarga kita. Semoga orang yang dijodohkan denganku itu mengizinkanku bermain piano. Tidak seperti Papa."

"Tapi kau akan meninggalkanku." protes Sean setengah berteriak.

Michelle terkejut memandangnya.

"Michelle...." Sean menggenggam tangannya. "Jangan pergi. Jangan menikah dengan orang itu."

"Sean..."

"Bertahanlah. Tunggu aku. Sebentar lagi aku akan tumbuh dewasa dan bisa melindungimu. Termasuk dari Papa sekalipun. Kau pasti akan bisa bebas."

Michelle kebingungan. Mereka berdua sama-sama masih kanak-kanak sehingga pemikiran mereka kadang begitu sederhana. Tapi akhirnya ia setuju pada Sean.

"Baiklah, Sean. Aku akan selalu bersamamu."

Aku akan selalu bersamamu...

***

Delapan tahun setelahnya, Sean sudah terbiasa dengan keinginan ayahnya. Ia selalu peringkat satu umum di sekolahnya dan rekornya tidak pernah terpecahkan hingga ia menginjak kelas tiga SMU. Ia juga sudah membantu ayahnya di perusahaannya dan ayahnya selalu bangga padanya. Sean bertingkah seperti zombie jika sudah menyangkut ayahnya. Ia tidak memiliki hati dan pikiran saat melakukannya.

(END) SEAN AND VALERIAWhere stories live. Discover now