PART 22.2 - Don't Leave Him

181K 10.4K 274
                                    

Setelah tamat dibaca yang cepat ya, karena mau author revisi dan edit ceritanya. Maklum karya pertama. Thank u.

***

"Kira-kira anakmu laki-laki atau perempuan ya, Val?" Indira menatap perut Valeria sambil melihat-lihat pakaian bayi.

Tadi siang keempat temannya ini meneleponnya untuk mengajaknya jalan-jalan saat ia berada di kantor Sean. Setelah Sean memberinya ijin, ia langsung menyuruh mereka untuk menjemputnya di sana.

Sejak beberapa bulan lalu, setelah keempat temannya ini, minus Gwen mengetahui tentang pernikahan rahasianya, entah sejak kapan mereka juga mengetahui tentang kehamilannya dan menjadi semakin sering mengunjunginya. Mereka lebih antusias daripada dirinya menyangkut kelahiran bayi.

"Aku lupa menanyakannya pada dokterku." Valeria memegang pipinya. Apakah jenis kelamin bayi sudah bisa dilihat saat usia kandungan enam bulan?

"Sepertinya kalau dilihat dari penampilanmu yang bersih dan cantik, artinya anakmu perempuan, Vale." Maudy tersenyum manis padanya.

Valeria membayangkan ia memiliki seorang anak perempuan yang bisa ia dandani sesuka hati dan merasa senang.

"Tunggu, Maud. Teori itu belum ditentukan secara ilmiah dan belum bisa dipastikan kebenarannya." Dinda yang sejak dahulu dikenal oleh mereka karena pengamatan yang teliti tentang suatu hal menyanggah ucapan Maudy. "Kurasa anakmu laki-laki, Val. Karena kamu suka memakai celana." tegasnya.

"Itu juga gak ilmiah kali!!" Maudy memprotes sambil melemparkan celana bayi pada Dinda. "Vale itu dari dulu kan memang jarang pakai rok."

"Apa aja sih sama saja, asal sehat kalau orangtua bilang. Bener kan, Val?" Gwen menengahi mereka. Valeria hanya mengangguk.

"Tapi kalau Vale pinginnya punya anak laki-laki atau perempuan?" Indira bertanya kembali dan disertai anggukan teman-temannya. Mereka juga ingin tahu.

Valeria memikirkan baik-baik pertanyaan mereka. Memiliki anak laki-laki sebagai anak pertama juga menyenangkan. Ia bisa melindungi adik-adiknya nanti. Tapi ia juga ingin mengunciri rambut anak perempuan. Pastilah lucu dan menggemaskan. Ia jadi kebingungan memutuskan pilihan.

Sebenarnya apa yang dipikirkannya?

Kenapa Valeria bisa lupa tentang perjanjian Sean. Anaknya tidak akan pernah memiliki adik. Entah itu laki-laki ataupun perempuan.

"Val!!!" Valeria tersentak dari lamunannya karena teman-temannya meneriakinya tepat di telinganya.

"Aduh, kalian itu! Udah deh, aku suka dua-duanya. Mau cowok, mau cewek pasti aku akan..." ucapannya terhenti.

Apakah setelah lahir, Sean akan memperbolehkannya melihat anaknya? Sean tidak sekejam itu bukan?

"Mencintainya..."

Oh Tuhan!! Ia tidak bisa membayangkan jika Sean sampai memisahkannya dari anaknya sendiri. Pemikiran mengerikan ini baru saja melandanya semenjak usia kehamilannya semakin tua dan bayinya mulai menendang perutnya. Entah sejak kapan dalam dirinya mulai tumbuh rasa cinta kepada seorang anak yang belum dilahirkannya itu.

Ia tidak rela jika harus memberikannya pada Sean. Ini adalah anaknya juga, ia yang bersusah payah mengandung selama berbulan-bulan, bukan Sean! Sean tidak perlu merasakan rasa mual dan tidak nyaman saat awal kehamilannya. Sean juga tidak pernah mengetahui rasanya meminum begitu banyak vitamin dan susu.

Ia harus melarikan diri dari Sean.

Pikiran itu membuatnya lemas.

Ia tidak ingin melakukannya tapi kenapa rencana itu tiba-tiba muncul di benaknya. Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Ia perlu membicarakan hal ini pada seseorang, tapi tentu saja bukan keempat temannya ini. Meski mereka tahu pernikahannya dengan Sean, mereka hanya tahu ia bahagia. Gwen tahu tentang permasalahannya, tapi Gwen sendiri juga belum pernah memiliki hubungan serius dengan seseorang.

(END) SEAN AND VALERIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang