Part 27.4 - Runaway

112K 9.4K 215
                                    

Valeria menikmati kehidupannya selama berada di rumah mertuanya tersebut. Marinka adalah mertua yang baik dan Valeria bersyukur mendapatkan mertua yang berpikiran terbuka sepertinya. Mertuanya memang terkesan menakutkan dan tegas, tapi Valeria sepertinya bisa beradaptasi dengannya. Papanya pernah menceritakan bahwa mertuanya adalah anak orang berada juga, yang dijodohkan dengan keluarga Martadinata. Jadi selama hidupnya, Marinka tidak pernah merasakan kemiskinan. Jika ia terlihat agak sombong, hal itu lumrah.

Marinka juga mengajarkannya cara mengurus bayi. Mereka memandikan bayi Valeria bersama-sama setiap pagi dan sore bersama seorang pengasuh anak yang dipekerjakan Marinka setelah kedatangan Valeria dan anaknya.

Valeria juga berusaha menyesuaikan diri terhadap jam tidurnya yang berkurang akibat harus menyusui anaknya. Ia terbangun pada jam-jam tertentu di malam hari saat anaknya menangis sehingga ia begitu mengantuk seharian. Dulu saat remaja, ia tidak pernah tidur siang dan selalu kabur saat Mamanya menyuruhnya. Sekarang tidur siang menjadi acara favoritnya.

Valeria tidak menyesal meski kehidupannya saat ini serasa terasing dari dunia. Ponsel canggihnya ia matikan. Tidak ada lagi sosmed atau chatting bersama teman, apalagi internet. Yang ia nyalakan hanya sebuah ponsel biasa dengan nomor baru yang dapat dihubungi oleh kakaknya.

Dan suatu sore di minggu ketiga, ponsel itu berbunyi.

Kak Jean memarahinya karena membuat mamanya frustrasi memikirkannya. Valeria sedih mengingat Mamanya dan menuruti keinginan Kak Jean untuk menghubungi mamanya tersebut. Ia mengaktifkan sebentar nomor lamanya dengan ponsel biasanya itu dan menelepon mamanya. Valeria mengatakan pada mamanya untuk tidak mencemaskannya karena ia baik-baik saja.

Ia memang baik-baik saja meski ia merindukan Sean.

Sean tidak kunjung menghubungi Marinka.

Mungkin Sean tidak terpikir untuk mencarinya di tempat ini. Atau ia memang tidak mencarinya...

Itu tidak mungkin. Sean pasti mencarinya...

Setidaknya jika bukan dirinya, Sean pasti mencari anaknya.

Sebenarnya apa yang diharapkannya? Ia yang kabur membawa anak mereka.

Setelah menelepon ibunya di teras, ia memutuskan berjalan-jalan di taman malam itu dengan baju tidur dan mantel cardigan untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Udara di tempat itu sangat dingin pada malam hari dan kadang disertai rintik hujan. Ia menatap langit tanpa bintang dan bertanya-tanya apakah Sean juga sedang menatap langit yang sama dengannya.

***

Keesokan harinya ia terbangun dan kembali melakukan kegiatan yang sama. Pertama kali yang dilakukannya selalu hal yang sama ; menengok anaknya. Setelah ia merasa anaknya baik-baik saja ia lalu sarapan bersama Marinka. Setelah sarapan mereka memulai acara memandikan bayi bersama. Setelah mandi, bayi itu pasti lapar dan menyusu pada Valeria. Selalu begitu setiap pagi.

Valeria menatap anaknya yang sedang menyusu. Sebentar lagi bayi itu pasti akan mengantuk dan tertidur kembali.

Alangkah senangnya menjadi bayi. Mereka tidak perlu memikirkan apa pun. Hanya menangis di saat lapar, dan tertidur di saat mengantuk.

Valeria segera mandi setelah meletakkan kembali bayinya yang tertidur pada boks bayi. Setelah itu, ia tidak memiliki kegiatan apapun selain menunggu anaknya terbangun kembali. Hari ini ia mencoba membaca sebuah buku yang kemarin dibelinya di sebuah pertokoan dekat tempat tersebut. Meski isinya tidak begitu menarik, hanya itu hiburan yang ada untuk mengisi waktunya. Ia malas menonton televisi, karena ia tidak akan mendengar jika anaknya terbangun nantinya.

Ia duduk di sebuah kursi dekat teras taman dan mulai membaca sambil mengantuk. Buku yang dibelinya tentang motivasi, dan ia termotivasi untuk segera tertidur.

Tiba-tiba anaknya terdengar menangis kembali. Valeria mengernyitkan keningnya. Ia baru saja menyusui anaknya, jadi tidak mungkin anaknya itu lapar. Cepat-cepat ia menutup buku dan berlari menuju lantai dua.

Ia sudah bisa berlari lagi sejak seminggu lalu dan merasa senang karenanya. Perutnya juga tidak pernah terasa nyeri kembali. Mungkin karena ia terlalu aktif bergerak, seperti saran dokternya.

"Biar aku saja, Ma." Valeria berlari melewati mertuanya yang kelihatannya juga akan menuju lantai dua. Ia tidak ingin mertuanya kerepotan karena harus naik turun tangga.

"Valeria!! Berapa kali sudah Mama bilang. Jangan berlari!! Kau bisa jatuh!" terdengar teriakan mertuanya.

Valeria terlalu bersemangat hingga tidak menggubrisnya. "Iya, maaf, Ma." Ia tertawa.

"Sean!! Apa kau tidak pernah memarahi istrimu?!" Marinka membentak seseorang.

Sean?

Valeria berhenti berlari.

Perutnya serasa melilit mendengarnya. Tadi mertuanya menyebutkan nama Sean bukan?

Sean ada di sini?

Valeria memastikannya dan menoleh dengan takut-takut. Ia menguatkan dirinya agar tidak pingsan dengan menggenggam terali tangga.

Dan Sean memang ada di sana, berdiri menatapnya dengan tajam.

Oh Tuhan!! Sean sudah ada disini dan menemukannya!

Valeria merasa mual mengetahui kenyataan ini. Hari penghakimannya sudah tiba dan ia harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Suara tangis bayinya membuatnya tersadar kembali. Ia mendahulukannya dengan kembali berbalik menaiki tangga dan akhirnya tidak menggubris Sean.

Ternyata bayinya hanya pup dan ia dengan sigap membersihkannya. Ia mendengar langkah-langkah kaki memasuki ruang bayi tersebut dan mengetahui yang masuk adalah Marinka dan Sean. Ia tidak berani menatap mereka dan pura-pura semakin sibuk dengan tugasnya.

Marinka terdengar terus mengoceh pada Sean tentang kebiasaan-kebiasaan bayinya dan Sean tidak terdengar bersuara sedikit pun atau menanggapinya. Itu membuat Valeria semakin cemas. Ia tidak tahu apa yang dirasakan Sean saat ini.

Valeria menyelesaikan tugasnya dan dengan gugup membersihkan kumpulan sampahnya ke kantung kertas dan menuju tempat sampah di sudut ruangan untuk membuangnya. Ia mendengar Marinka menyuruh Sean menggendong anaknya.

Valeria masih tetap tidak berani menatap mereka dan membelakangi mereka di depan meja sambil meletakkan peralatan bayi yang tadi dipakainya satu persatu dengan perlahan-lahan dan sengaja memperlambat dirinya.

Dan ia mengerang dalam hati saat menaruh botol bedak terakhirnya.

Sudah tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.

Ia perlahan-lahan berbalik dengan pasrah dan menunduk. Pinggulnya bersandar pada meja. Marinka masih terus berbicara pada Sean dan Valeria tidak bisa berkonsentrasi mendengarnya.

Valeria penasaran dan akhirnya mencoba mengintip perlahan melalui sudut matanya. Tanpa menaikkan pandangannya.

Sean sedang menggendong bayinya dan tersenyum pada bayi itu, sementara Marinka di sampingnya menjaga dan memberikan instruksi cara memegang bayi yang benar pada anaknya. Sungguh pemandangan yang membuatnya terharu. Ia terpana memandang mereka bertiga selama beberapa saat dan tanpa sadar menaikkan pandangannya karena merasa lega.

Sean tiba-tiba menoleh padanya dan mata mereka bertemu. Valeria terkejut dan kembali memalingkan wajahnya.

"Ia sudah menyusui?" Sean terdengar bertanya pada Mamanya. Valeria menyimak. Marinka mengatakan bayinya itu baru saja minum.

"Kalau begitu, boleh aku meminjam Valeria sebentar?"

Valeria merasa panik mendengarnya. Habis sudah!! Sean akan memarahinya sekarang...dan mungkin untuk yang terakhir kali. Tapi ia memang sudah menduga ini akan terjadi dan ia harus menghadapinya. Dirinya yang memulai ini semua.

Sean menggamit lengan kirinya dan mengajaknya keluar ruangan tersebut. Ia mengikuti langkah Sean dan memperhatikan punggung Sean dengan berdebar-debar. Ia ingin memeluk punggung itu. Betapa ia merindukannya meski dalam situasi yang mengerikan seperti saat ini.

***

(END) SEAN AND VALERIAWhere stories live. Discover now