Part 16.2 - Jealousy

160K 10.4K 100
                                    

Sean keluar dari rumah sakit tiga hari sesudahnya. Ia sudah menjalani pemeriksaan MRI dan tidak ditemukan kerusakan lain yang berbahaya pada tubuhnya dan akhirnya dokter mengijinkannya pulang.

Dan semenjak itu pula, Valeria tidak pernah melihat Sean lagi hingga saat ini.

Sean tidak pernah pulang lagi ke rumah yang ia tempati bersama Valeria.

Setiap pagi Valeria diantar oleh sopir ke sekolah dan dijemput pada saat Valeria menghubunginya. Kegiatan di sekolah pun hanya kegiatan bebas sehingga Valeria menjadi semakin murung dan memiliki banyak waktu senggang untuk memikirkan Sean. Kemana Sean? Dimana ia tidur setiap malam?

Valeria sebenarnya juga merasa khawatir. Ia tidak terlalu peduli Sean bersama wanita lain, meski itu juga membuatnya agak sedih. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan Sean. Apakah Sean baik-baik saja?

"Val, kamu ngedengerin kan?" Angga, ketua kelasnya menegurnya siang itu saat meeting pembagian tugas acara pensi.

"Apaan?!" Valeria terkesiap dari lamunannya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Semua teman-teman sekelas menatapnya.

"Ini tugasmu di acara pensi nanti. Jadi waitress kafe di shift sore sampai malam, kecuali kalau kamu bisa masak, kamu boleh ambil tugas dapur yang waktunya lebih singkat. Kamu bisa masak?"

Valeria menggeleng-gelengkan kepala. Terakhir kali memasak ia hampir menghanguskan dapur mamanya.

"Elo nunggu telepon siapa sih, Val? Dari tadi kok kayaknya sibuk banget sampe nggak ngedengerin obrolan kita." Gwen berbisik di sampingnya.

"Gak apa-apa Gwen. Nelepon Kak Jean nggak diangkat-angkat. Mungkin dia sibuk." Valeria berbohong.

"Penting ya?" Gwen bertanya.

"Nggak juga sih. Nanti sajalah kutelepon lagi." Valeria tersenyum pada Gwen.

Ia mulai berkutat pada ponselnya kembali dan menulis pesan untuk Sean.

Ia tidak tahu sudah berapa kali ia menelepon Sean dan Sean tidak mengangkatnya. Ia juga sudah mengirim pesan melalui sosmed tapi Sean tidak membaca ataupun membukanya. Valeria merasa dirinya sangat bodoh dengan kelakuannya ini. Sean tidak pernah menggubrisnya, tapi ia tetap menelepon dan mengirimkan pesan pada pria itu.

Ia memejamkan mata untuk menguatkan dirinya. Haruskah ia mengirim sms lagi? Ia sudah merasa begitu merendahkan diri.

Valeria mengetik sms dan menutup ponselnya.

Itu adalah sms terakhirnya untuk Sean dan ia tidak akan pernah menelepon atau mengirimkan pesan pada Sean lagi. Sudah cukup!

***

Sean duduk dengan murung di atas sofa ruangan private favoritnya di klub. Seminggu yang lalu gipsnya sudah bisa dilepas karena keretakan tulangnya tidak begitu parah dan ia sudah bisa melakukan aktivitas sehari-harinya seperti biasa. Ia benar-benar merasa lega gips itu sudah dilepas karena selain menghambat kegiatannya, beberapa hari terakhir gips itu terasa gatal dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Keadaan itu semakin melengkapi penderitaannya.

Ia ke kantornya seperti biasa di pagi hari dan pulang ke apartemennya di malam hari.

Ia tidak bisa pulang ke rumah.

Sean tidak tahu harus bersikap seperti apa jika kembali menjalani hidupnya bersama Valeria di rumahnya itu. Apa ia harus mengembalikan Valeria ke kamar yang sebelumnya ditempati? Ia tidak ingin melakukannya tapi ia juga tidak sanggup tidur dengan Valeria lagi. Mengingat Valeria pernah mengatakan jijik pada dirinya membuatnya merasa rendah diri.

(END) SEAN AND VALERIAWhere stories live. Discover now