4. Mandi di Malam Hari

1.4K 331 14
                                    

Aku dibawa ke tempat penampungan air, beberapa puluh meter dari penampungan pekerja Serikat Pandai. Tempat itu difungsikan sebagai tempat bagi para pekerja untuk mandi dan membersihkan diri meski rutinitas itu jarang terjadi di tengah empat jam waktu istirahat.

Tempat penampungan air sekaligus tempat mandi itu hanya terdiri dari sebuah bangunan tertutup mirip lumbung yang bersebelahan dengan menara tangki penampungan air. Letak bangunan itu terpojok, menyendiri jauh di belakang bengkel terakhir dari lima bengkel yang dimiliki Serikat Pandai. Terabaikan. Hampir tidak terpakai dan hanya digelayuti kehidupan setiap kali penggantian air rutin pukul enam pagi. Kami harus melewati lima bengkel, enam hanggar, dan tiga gudang rongsokan Serikat Pandai untuk mencapai lumbung penampungan air itu lebih cepat.

Bau apak dan debu menyambut kami setelah Suri membuka pintu. Cahaya bulan masuk menerangi lumbung dari lubang terbuka di atap, menerangi kolam air di tengah lumbung. Dilihat sekilas, luas kolam itu bisa menampung setidaknya enam orang dalam satu giliran berendam. Di pojok ruangan, terdapat beberapa ember berkarat yang teronggok tak terpakai. Tidak ada sabun, tapi setidaknya ada sikat untuk membersihkan diri.

Suara riuh ramai suasana malam di London berubah samar setelah Suri menutup pintu. Tanpa basa-basi, gadis itu menarikku ke tepian kolam yang masih jernih airnya karena biasa diganti setiap hari walau tidak ada yang memakai. Aku menatap pantulan wajahku sendiri di permukaan kolam yang jernih, menghitung setiap kerak dan lumut yang tidak dibersihkan di dasarnya, sebelum menatap Suri dengan bingung.

Suri terheran-heran. "Apa yang kau tunggu? Mandilah!"

Aku membelalak selebar-lebarnya. "Apa?! Kau gila? Luka ini luar biasa perihnya kalau kena air!" Aku bergidik ngeri mengingat kenekatanku membasuh luka basah akibat cambuk sihir. "Tidak mau! Lebih baik aku tidak diobati daripada harus—

Suri mencubit pipiku gemas. "Lukamu bisa infeksi kalau kau tidak mandi! Tinggal tunggu waktu sebelum lukamu itu bernanah, berbusa, menjadi bisul dan meninggalkan luka berbau busuk yang tidak hilang selama berminggu-minggu!"

Itu terdengar mengerikan. "Sungguh?" Aku tidak tahu apa-apa soal medis dan tidak mau banyak mencari tahu karena sudah banyak luka mengerikan dan darah yang kulihat seumur hidup. "Kau tidak sedang membohongiku kan?"

Suri kali ini tampak serius, tak berusaha bermain-main dengan pengetahuan lebihnya di bidang medis. "Aku serius. Kau tahu akibat apa yang bisa terjadi kalau tak merawat lukamu dengan baik?"

Aku menggeleng pasrah.

"Well, kau tidak akan mau tahu. Jadi cepatlah urus dirimu dan mandi!" Suri menunjuk permukaan kolam.

"Entahlah, di dalam sana ada banyak lumut dan kerak ... kurasa kalau aku mandi, airnya hanya akan berubah kotor." Meski bermandi di air selokan pun tidak masalah buatku, hal itu bisa menjadi alasan bagus untuk tidak mandi.

"Asal kau tidak banyak bergerak, lumutnya tidak akan banyak yang rontok! Airnya cukup bersih jadi jangan banyak beralasan seperti anak kecil! Masa kau tidak bisa menahan perih barang lima menit?" omelnya tak terkendali. Kemudian Suri berbalik sambil mendengus. "Jika ini membuatmu lebih baik!"

Anak ini benar-benar keras kepala. Jika sudah berkehendak, aku dan Edward tidak bisa berbuat apa-apa selain menurutinya sekuat kami. Memberengut kesal, aku menanggalkan pakaian dan melepas perban yang membebat dadaku, menarik napas lega karena akhirnya lepas dari belenggu yang melilit tubuhku selama seharian penuh.

Berharap rasa sakitnya cepat hilang, aku menenggelamkan tubuh langsung hingga ke batas leher di air kolam yang jernih. Tanganku, digerakkan oleh refleks, mencakari pinggiran kolam sampai kuku jariku sakit. Aku mencakar lagi dan lagi, mencari pelampiasan untuk meluapkan rasa sakit yang luar biasa buruk.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now