50. Menjauh dari Bahaya

997 259 25
                                    

Beberapa menit sebelumnya

"Kau bisa tinggal di sini, kau tahu." Untuk kesekian kalinya, Edward membujukku.

Aku menggeleng, menolak penawaran baik hati Edward dengan mantap, mengesampingkan rasa berat dalam hati yang sedari tadi menggelayuti. "Tidak bisa." Sambil berusaha mengerahkan seluruh hati untuk menetapkan pilihan, aku mengabaikan tatapan memohon dari sahabatku itu dan bersiap untuk pergi. "Setelah mendengar cerita kalian, aku semakin yakin untuk tidak tinggal di sini lebih lama lagi."

Baba menatapku pedih dari tengah ruangan. Wanita tua itu sama tidak inginnya aku pergi seperti halnya Edward. Tapi lain dari sahabatku, wanita tua itu tidak menahanku. Entah karena tubuh rentanya sudah tidak sanggup lagi berjalan tergopoh-gopoh meraihku dan menahanku atau karena dia memang tahu, aku sudah berada di jalan yang seharusnya.

Satu tangan putih mungil nan lembut meremas tanganku kuat-kuat. "Tapi tempatmu di sini. Kau berasal dari sini. Ini rumahmu juga, Al." Suri ikut membujukku.

Biasanya aku akan menatap mata gadis itu secara langsung ketika menyampaikan keinginan, tapi untuk kali ini, hanya untuk kali ini, aku hanya ingin terpaku pada tangannya sambil mengabadikan setiap gurat tangan mungil yang kini sudah berubah banyak itu. Dulu, tangan ini selalu menolongku. Namun jika dibandingkan dulu, tangan ini sekarang terasa lebih lembut dan halus. Memang tidak terlalu halus, tapi kasarnya tangan ini jauh berbeda dari ketika dia masih bergabung di Serikat Pengrajin. Tangan kasarnya sekarang ini persis tangan ibuku dulu—segelintir sisa kenangan masa lalu yang masih dapat kuingat—ini tangan wanita yang bekerja keras demi keluarga dan kehidupannya.

Kalau bisa, aku tidak ingin tangan ini jadi kasar akibat kerja keras di luar batas kewajaran lagi. Tidak lagi untuk selamanya.

"Justru karena ini rumahku, aku tidak ingin melihat kalian hancur karena aku seorang." Tanganku jatuh di atas tangan Suri, balas meremasnya erat meski harus menahan sedikit sakit dari bahuku yang belum sembuh. "Sudah cukup satu desa, ratusan nyawa, adikku, dan orang tuaku yang mati gara-gara aku, jangan sampai kalian juga."

Sekarang aku menatap mata Suri, hanya untuk melihat sepasang mata biru itu berkaca-kaca. Berpindah, aku menatap Edward yang masih kelihatan keberatan dan Baba yang sudah menitikkan air mata, menangis tanpa suara di tengah ruangan sambil sesekali mengusap wajah dengan pakaiannya.

"Kau dan Edward punya kehidupan di sini." Aku memergoki Edward membuang muka, tampak tak suka topik ini. Aku paham dengan naluri protektifnya yang tidak jauh berbeda dengan naluri seorang kakak, tapi caranya memandang Suri selama aku ada di sini sudah menjawab semuanya.

Aku tidak bisa berada di antara mereka dan menghancurkan semua yang sudah mereka miliki di sini.

"Terima kasih." Aku memeluk Suri penuh sayang. "Jaga Edward dan desa ini untukku."

"Jangan bicara seolah kau akan pergi selamanya!" Suri terisak sambil memelukku erat. "Kau akan kembali! Kau harus janji kau akan kembali! Aku akan mengajarimu memasak dan mengajarimu berdandan! Lalu aku akan membelikanmu gaun yang indah dan kita akan ... kita akan ...." Suri tidak sanggup meneruskan kata-katanya.

Aku melepaskan pelukan dengan enggan, sadar bahwa akan terkesan aneh jika aku terus memeluknya tanpa sedikit pun menunjukkan kesedihan atau air mata. Suri terisak keras sekali. Dengan lembut, aku mengelus puncak kepalanya. "Setidaknya kau sudah mengajariku cara mandi yang benar di sini. Terima kasih untuk sabun dan samponya."

"Bawalah setidaknya sedikit makanan dari sini." Edward membujuk lagi. "Atau setidaknya bawalah uang sedikit lebih banyak lagi."

Mulutku baru akan menyahut ketika cairan itu keluar tiba-tiba saja dari mataku. Edward menganga, Baba terkesiap, Suri memekik histeris, dan aku hanya bisa terperangah. Aku mengusap cairan yang menetes terus menerus itu, melihat darah memenuhi ujung jari jemariku dan menetes ke lantai tanpa pernah berhenti. Kekuatanku lantas membuncah keluar, meledak tak terkendali, menyebar ke seluruh rumah Baba, langsung memakan energi sihir besar yang tiba-tiba muncul mengelilingi kami selayaknya air bah.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang