8. Kabur

1.2K 342 18
                                    

Black Mary. Nama itu menghentakku sekeras hardikan pangeran Oryziel yang berapi-api.

Mendongak kaget, aku mengusap seluruh darah sampai bersih dari wajahku sambil menahan kesakitan yang masih berdenyut kuat di sana. "Black Mary ... saya tidak ... tahu ...." Aku merintih, namun pangeran Oryziel sama sekali tidak tampak melunak mendengar rintihanku yang tulus.

Sekujur tubuhku bergidik menyadari betapa mengerikannya kesalahanku sekarang. Jika saja aku tahu penyihir yang kutolong tadi adalah kapten dari kelompok perompak paling diincar oleh kerajaan Inggris dan seluruh negara di dunia, aku tidak akan menolongnya.

Tolol, Alto. Kau tolol.

Dua kesalahan fatal kubuat hari ini dan dua-duanya disaksikan oleh pangeran Oryziel langsung. Kesalahan pertama bisa lolos dengan tiga cambuk sihir, tapi sekarang tidak akan ada kata lolos lagi. Aku akan benar-benar tamat. Aku akan mati. Tidak ada orang yang menolong perompak dan punya waktu untuk membanggakan diri atas kisah heroik mereka yang murah hati. Malam ini aku akan jadi penghuni baru daftar orang yang dieksekusi mati karena bersekongkol dengan perompak, tak peduli meski aku melakukannya tanpa sengaja sekalipun.

Menyadari posisiku yang buruk, mulutku membeku. Tidak ada pembelaan, permintaan tolong, atau rengekan meminta pengampunan yang keluar dari bibirku yang bergetar. Hanya suara letupan dari sisa-sisa api yang menjilat arang, kebakaran yang masih membara, dan suara napasku sendiri yang terdengar.

Memangnya apa yang bisa kukatakan? Semua yang keluar dari mulut seorang pengkhianat adalah kebohongan. Tidak akan ada gunanya sekalipun aku menangis ataupun bersujud memohon pertolongan pada mereka. Aku tetap akan mati di tangan para penyihir malam ini. Aku akan mati dengan tragisnya karena menolong seorang laki-laki tolol sinting yang ternyata kapten kelompok perompak terkenal.

Tidak.

Seharusnya tidak seperti ini. Tidak seharusnya aku berakhir mati di tangan penyihir. Aku tidak mau mati di tangan penyihir. Aku tidak mau mati di tangan mereka apalagi karena tuduhan rendah yang tidak disengaja seperti ini.

Lantas seharusnya seperti apa?

Pertanyaan itu menggema dalam kepalaku, menggema dan terus menggema lagi bagai suara kotak musik yang rusak.

Memangnya seharusnya seperti apa? Jika aku tidak mati di tangan penyihir hari ini lantas apa? Apa yang berbeda jika aku tidak mati hari ini?

Jawabannya terpampang jelas.

Wajah menyedihkanku sebagai budak, penuh peluh, oli, penuh debu, berkutat selamanya dengan kotoran di bengkel dan hanggar, larut dalam pekerjaan kasar tiada akhir sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun selama sisa hidup. Tubuhku akan penuh luka cambuk karena kesialan yang tubuhku bawa terhadap segala sesuatu dengan aktivitas sihir. Aku akan terus berada di dalam Serikat, berpindah-pindah karena ketidak cocokkanku pada Serikat manapun dan berakhir di Serikat Pembangun. Di sana aku akan bersama orang-orang yang sama-sama punya alergi terhadap sihir. Di jalan-jalan yang ramai, aku akan duduk dan terus membangun kota. Diinjak, ditendang, dilempar berbagai macam kotoran dan diludahi akan jadi keseharianku. Tubuhku akan lebih kurus dan lebih kotor. Akhir hidup hanya akan terbagi dua untukku: mati kelaparan di jalanan sebagai budak ataukah mati dieksekusi mati karena kesalahan kecil yang pastinya akan kuperbuat nanti.

Jika ada keajaiban untuk selamat dari tuduhan ini pun, aku hanya akan berakhir sebagai pekerja di Serikat Pandai lagi. Sekali lagi akan bekerja sebagai pandai besi pembuat berbagai lempeng yang akan dirakit oleh pekerja di Serikat Pengrajin atau menjadi orang yang membersihkan kapal udara tanpa pernah benar-benar menyentuh mesin sebagai mekanik.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now