19. Sampai di Tujuan

1.1K 298 40
                                    

Aku berjalan dengan langkah gemetar di sepanjang lorong.

Benakku berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai apa yang baru saja terjadi, tapi percuma. Tidak ada informasi apapun yang datang ke kepalaku. Yang aku ingat hanya sedang bicara berdua dengan Kapten di atas sana.

Detik berikutnya aku sadar, kami berdua sudah dikelilingi makhluk-makhluk mengerikan bertubuh burung dengan wajah serupa binatang buas kelaparan. Bajuku sempat dicengkam oleh cakar salah satu binatang entah apa namanya itu dan dibawa pergi beberapa kaki ke langit, bagusnya makhluk itu tidak sempat membawaku terlalu jauh. Punggungku hanya tergores sedikit, mungkin akan patah jika Kapten tidak menangkapku dengan cepat sebelum mendarat di atap.

Detak jantungku meningkat satu detak.

Beruntunglah aku dan kapten Xerlindar hanya berdua di atap ketika kejadian memalukan itu terjadi sehingga tidak ada yang melihat kami beradegan memalukan seperti itu. Aku masuk ke kapal ini sebagai laki-laki, jika sampai ada yang melihat, statusku akan langsung dipertanyakan.

Diam-diam, tanganku meraba bagian dalam pinggang sendiri, di tempat Kapten melingkarkan lengannya hampir sepanjang waktu selagi kami bertarung dengan makhluk-entah-apa-itu. Perasaan hangat nan asing itu masih tertinggal di sana.

Menyingkirkan semua pikiran kotor yang mulai muncul, aku melepaskan kacamata pelindung yang melindungi mataku selama di atas. Kupandangi badan kacamata dan lensa birunya dengan kagum sambil membolak-balikkan benda itu di dalam telapak tanganku.

Kacamata ini luar biasa.

Pikiranku melayang-layang mengingat kejadian di atap tadi, ketika asap merah kehitaman keluar dalam jumlah luar biasa banyak dari tubuh kapten Xerlindar dan meliliti setiap makhluk bersayap mengerikan itu. Asap dari tubuh Kapten melilit tubuh makhluk-makhluk itu dari kepala hingga kaki, mencekik mereka, dan menjatuhkan mereka dari langit bagai tetes hujan. Dengan mata sendiri, aku melihat asap perwujudan sihir hitam itu masuk ke mulut burung-burung aneh itu. Hanya butuh beberapa detik untuk melihat efek sihir hitam miliknya. Makhluk-makhluk mengerikan itu dalam sekejap berubah kurus sebelum kemudian busuk dan berubah menjadi abu.

Sihir hitam sebanyak itu, dalam keadaan biasa, sudah akan membuat mataku kesakitan setengah mati. Namun pada kenyataannya mataku sama sekali tidak sakit. Benda ini sanggup melindungiku dari ledakan sihir sebesar itu tanpa merasakan perih sama sekali.

Sebenarnya dibuat dari apa benda ini?

Mataku mengamati setiap detil kacamata itu. Pandangan mataku bergetar. Aku mendekatkannya ke mata untuk melihat lebih jelas, melihat ada serat-serat di lensanya. Serat-serat halus itu tidak terlihat dari jauh maupun ketika dikenakan, tapi dari dekat barulah terlihat.

Sekuat tenaga, aku berusaha melihat serat-serat yang bentuknya mirip tulang daun itu lebih jelas, namun pandanganku tidak mau fokus. Segalanya tampak berputar semakin hebat setiap detik.

Sedetik kemudian aku tersadar, tidak hanya pandangan mataku yang bergetar, tapi tangan dan seluruh tubuhku juga ikut bergetar. Menggigil. Sejak kapan kapal jadi sedingin ini?

"Bukan malam pertama yang baik di atas kapal, heh, Greenie?" Will menepuk bahuku keras, menyentak luka di punggungku yang masih basah. "Ups, Maaf, tidak sengaja." Dia tidak terdengar menyesal sama sekali ketika mengatakannya, aku berani sumpah. Tapi sudahlah, luka ini tidak terlalu sakit. Lagipula salahku juga mengabaikan dan hampir melupakan dia ada di sampingku. "Bagaimana rasanya menghadapi samodiva dan kembali dalam keadaan utuh?"

"Samo ... diva?" Aku mengerutkan kening. "Itu nama makhluk yang menyerang—tunggu, kau tahu?" Aku memekik dan berhenti di tengah jalan. Aneh memang mendengarku menghardik ketika aku biasa diam dan menjawab pertanyaan seadanya, tapi siapa yang tidak akan marah mendengar hal seperti ini? "Apa yang lain tahu kami diserang? Dan tidak ada yang mencoba datang membantu?"

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now