67. Janji Untuk Masa Depan

1K 234 33
                                    

Kapal yang diberikan Sigmon tidak memiliki banyak ruangan di kabin. Sementara semua kamar terletak di kabin dan tidak di tempat lain. Tidak butuh waktu lama untuk memastikan di antara semua kamar yang tidak terkunci itu, Azran tidak ada di dalam kamar mana pun.

Tetapi mataku melihat jejak sihir kecil meliuk di udara, mengarah ke pintu tingkap belakang di ujung kabin. Tempat yang biasanya dihindari karena banyak sekali emisi yang terbuang dan mencemari udara di sana. Dengan mudah, aku membuka pintu itu, menghadapi suara menderu-deru dari saluran pembuangan emisi dan baling-baling penyaring udara di dalam kapal.

Sebuah balkon kecil berdiri di belakang pintu tingkap itu, dengan pagar besi menjadi pembatas antara kapal dan enam belas ribu kaki ketinggian di bawah sana. Daratan yang hitam penuh lampu gemerlapan di berbagai bagian yang kuyakin adalah kota membentang tanpa ujung seperti permadani penuh berlian.

Indah.

"Kau tidak seharusnya di sini."

Aku menoleh ke sumber suara yang tidak kusadari keberadaannya dan tidak repot-repot menutupi rasa kesal yang menggelayut.

Suara bising di sekitarku seketika lenyap. Rasa sakit yang familier serta merta menyengat mataku saat selubung sihir dengan cepat menyelubungi seluruh balkon.

Dua langkah di sisi kananku, Azran berdiri menghadap pagar balkon. Ekspresinya menerawang jauh melewati semua langit, awan, maupun kota yang pergi di bawah sana.

"Apa yang sudah kau rencanakan?" tuntutku tanpa basa-basi.

Azran melirikku sesaat sebelum mendebas. "Sama sekali bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan."

"Kenapa aku tidak harus khawatir?"

Kali ini Azran menatapku. "Karena itu rencana untuk melindungimu."

"Apa kau bermaksud menghalangiku lagi?" Amarah menggelegak dalam diriku. Sulur-sulur energi sihir hijau zamrud keluar dari dalam tubuhku. Memusnahkan selubung udara Azran sedikit demi sedikit. Mengembalikan deru mesin ke antara kami, perlahan-lahan. "Jawab aku, Azran."

Perompak itu melirik sekilas ke arahku dan sekejap kemudian, ia sudah menutup jarak di antara kami. Aku bahkan tidak mendengar langkahnya.

Dengan tinggi yang menjulang, Azran dengan angkuhnya menunduk dan tersenyum miring ke arahku. "Ya," jawabnya disertai senyum pongah. "Aku sedang menghalangimu lagi."

Kami bersitatap lama. Mata emas itu berpendar dalam terang bulan. Seringainya tidak sampai ke mata itu. "Kau berbohong."

Seketika, senyuman angkuh nan licik Azran luntur. Pemuda itu mendengkus, terdengar kesal, tapi senyum tipis di wajahnya, senyum tulus di bibirnya mengatakan sebaliknya.

"Tidak lucu, Penyihir." Aku menggenggam kerah bajunya. "Itu sama sekali tidak lucu."

Azran masih tersenyum, tapi kali ini ia mengangkat kedua tangannya ke udara. "Rencanaku tidak akan menyakiti teman-temanmu. Aku bersumpah, Alto."

"Kalau begitu kenapa kau tidak ceritakan rencana itu kepadaku sekarang?" desakku. "Kapan kau membuat rencana ini? Kapan kau menyampaikannya pada Suri dan Edward? Kenapa aku sama sekali tidak terlibat di dalamnya?" Tanpa ampun, aku menghujani perompak itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi hampir meledakkan kepalaku.

"Kenapa kau harus terlibat di dalam rencanaku?" Azrah menyahut santai. "Padahal kau tahu, kaulah pusat semua rencana ini."

Selama sesaat, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Karena aku tidak merasa menjadi bagian dari rencana apa pun. Aku tidak pernah berdiskusi dengan siapa pun soal apa pun sejak sadar di Istanbul.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang