5. Pemuda yang Terluka

1.3K 331 28
                                    

Bayangan itu terlalu kabur untuk dilihat sangat jelas. Di belakang bangunan yang terletak berdekatan dengan bangunan yang dindingnya kami gunakan untuk berlindung, sosok itu berjalan. Ia berjalan dengan langkah limbung sebelum merapat ke dinding, menyatukan diri dengan bayangan seperti halnya kami.

Meski kabur, aku bisa memastikan sosok samar itu adalah laki-laki dari bunyi sepatu bot, postur tubuh, cara berjalan, dan kemeja serta celana panjang yang melekat di tubuhnya. Sepatu dan celana hitam panjang yang dikenakannya tampak memiliki beberapa titik bara yang masih menyala.

Namun bukan itu yang membuat napasku tertahan.

Kemeja putihnya, kemeja putih yang menutupi tubuhnya, tampak dinodai tinta hitam yang sangat banyak. Diterangi cahaya api yang temaram dari jalanan depan, noda hitam itu memantulkan warna merah samar. Laki-laki itu melorot ke tanah. Dari tempat bersembunyi bersama Suri, aku bisa mendengar hembusan dan tarikan napasnya yang pendek dan cepat. Itu bukan tarikan napas orang yang sehat. Beberapa kali terdengar rintihan dan makian samar dalam bahasa lain yang tidak kami mengerti dari mulutnya. Dahinya berkerut-kerut dan wajah pucat pasinya terpantul jelas di cahaya api yang remang-remang.

Dia terluka parah.

Tapi dia penyihir. Sulur-sulur merah bercampur hitam yang menguar dari tubuh laki-laki itu membuktikan dengan jelas bahwa dia memang penyihir.

Mataku menyipit heran.

Tidak biasanya sulurnya berbentuk seperti itu. Biasanya sulur energi sihir akan tampak teratur dan tenang. Tapi sihir yang berkobar dari tubuh laki-laki itu tidak menjalar atau mengalir ke elemen manapun. Warnanya merah-hitam, hanya diam di tempat, tampak gelisah, tak beraturan bentuknya—seperti bergetar—lalu perlahan tapi pasti mulai redup.

Apakah ini artinya ia sekarat?

Bagus. Jumlah penyihir di Inggris akan berkurang satu. Bagus sekali. Kau tidak perlu menolongnya, Al, sesuatu dalam diriku berkata. Kabur ke tempat aman dan biarkan dia berdarah sampai mati. Cuci bersih tanganmu dan pura-pura tak melihat apapun setelah ini. Kau belum menyentuh laki-laki itu. Tidak akan ada bukti kau mengabaikannya. Biarkan mereka mati perlahan lalu menari-narilah di atas kuburan mereka.

Seolah aku bisa melakukannya saja!

"Suri, aku pinjam salepmu. Masih ada kan?" Aku berbisik susah payah di antara gemuruh ledakan.

Suri mengangguk. Dia melonggarkan tanganku pelan-pelan. "Untuk apa?" bisiknya seraya menyerahkan sekotak salep itu padaku.

"Kau pergilah dulu." Aku melepaskan mulut sahabatku yang malang ini. "Aku akan menyusul."

Dengan cepat Suri membaca rencanaku. Mengenalku selama lima tahun membuatnya hafal dan tidak suka pada kenekatan gilaku yang tidak pernah pakai pikir panjang. Manik coklatnya memandang laki-laki asing itu dan diriku secara bergantian dengan sorot tidak percaya. Dia menggeleng cepat. "Oh tidak, Al. Jangan. Kalau dia penyihir bagaimana?"

Sebenarnya dia memang penyihir, aku menjawab dalam hati. "Lalu bagaimana kalau dia bukan penyihir dan hanya orang biasa yang terluka?"

Suri memandangi laki-laki di kejauhan itu. Aku bisa membaca keraguannya. Tidak ada kaum nonpenyihir berbaju sebagus itu. Sahabatku satu ini terjebak dalam dilema selama beberapa saat sebelum terdengar suara ledakan terdengar di dekat kami, pertanda waktu berpikir bagi Suri sudah habis.

Gadis itu menunjuk wajahku dengan marah. "Kalau kau tidak datang, aku akan mencarimu walau harus terbang ke ujung dunia, paham?!" desisnya.

Aku tersenyum sebelum memeluknya singkat. Gadis itu lantas berlari pergi. Suri lewat di depan matanya, tapi laki-laki itu tak acuh. Laki-laki itu hanya terus bersandar dalam bayangan, seolah ingin menyembunyikan diri.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now