18. Xerlindar: Samodiva

1.1K 331 39
                                    

Suara nyanyian merdu itu mengacaukan semuanya.

Benci mengakuinya, tapi aku tidak pernah sesenang ini ketika mendengar suara nyanyian sialan itu. Memasang senyum sinis, aku mendelik sesosok wanita yang telah berdiri di balik bahu Alto sejak satu detik lalu. Wajahnya pucat dengan pendar yang menyala dari dalam.

Tidak ada yang cacat dari wajah makhluk sekelas Samodiva. Mereka punya wajah putih yang berpendar terang di malam-malam gelap, rambut yang bertiup pelan walau angin tidak sedang berembus, bibir tipis yang merona cerah, mata yang berpendar dalam warna emas yang lebih terang dari mata penyihir manapun, serta suara surgawi yang dapat membuat para pria lupa makan berhari-hari dan para wanita kehilangan jiwanya. Tapi selalu ada alasan kenapa makhluk secantik mereka dijuluki Siren Langit.

Aku ceroboh. Ruang untuk membuat percakapan kami lebih nyaman tidak pernah dilengkapi dengan pengamanan anti-penyusup. Sebagai catatan, lain kali akan kubuat ruang anti-maling sekalian.

Alto dengan mudahnya takluk pada suara merdu samodiva yang tidak pandang bulu dalam memikat sasaran. Dengan pasrahnya, dia membiarkan sang samodiva menyentuh wajahnya. Jari jemari sang siren langit mengelus setiap jengkal wajah Alto, berhati-hati sekaligus mengancamku dalam diam, jika aku berani bergerak sedikit saja, cakar-cakar hitamnya akan dengan senang hati memberi cacat pada wajah Alto. Dengan suara nyanyian sekencang ini, aku tidak yakin dapat sadar sebelum wajah Alto terlalu rusak oleh ulah mereka.

"Selamat malam, Cantik." Makhluk keji itu tersenyum ketika dipuji, tapi tangannya masih belum beranjak dari wajah Alto. Dengan hati-hati, ia hanya mengulum senyum tipis, mengumbar wajah cantik memikat dan dengan rapi menutupi mulutnya yang penuh taring. Diam-diam aku melingkarkan lengan pada pinggang Alto, menariknya mendekat dan menjauhi sang samodiva. Tapi seperti halnya manusia lain yang terpikat kecantikan sang samodiva, tubuh Alto kaku dan menolak untuk ditarik. "Aku tidak ingat mengundangmu kemari."

Samodiva itu memasang wajah sedih. "Aku melihatmu sendirian."

Aku mengedikkan bahu, berusaha tenang selagi peluh membanjiri tubuhku. Suara terkutuk itu terus mengalun, bergema dan terdengar semakin indah setiap detiknya. Mataku naik, melihat ada belasan makhluk seperti dia terbang melayang di atas kapal, berputar dan menari-nari di udara. Kami sudah berada di jalur yang benar. Kuharap Gillian tidak lupa menutup telinga seluruh awak seperti yang kuperintahkan.

Sekumpulan samodiva itu, tanpa malu, menari-nari di langit dan terbang melayang semakin rendah mendekati atap kapal. Dua di antaranya berani turun dan mengajakku ikut serta dalam tarian mereka yang menggoda. Tubuhku gemetar menahan hasrat. Berulang kali kutekankan pada diri sendiri untuk tidak terpancing.

"Kau kelihatan sangat lelah, kaptenku yang gagah berani." Samodiva itu melayang, berdiri di antara aku dan Alto. Tangannya yang sedingin angin musim gugur menyapu pipiku dengan lembut, mengirimkan sensasi menggetarkan jiwa yang sulit ditolak. Samodiva itu tersenyum, merasakan kemenangannya semakin dekat. "Bagaimana kalau sedikit menari bersamaku dan melupakan semuanya? Kalian berdua tentu saja." Matanya melirik Alto.

"Tidak terima kasih. Aku sudah sangat lelah menari." Aku berdalih.

Makhluk licik itu berpindah kepada Alto yang otaknya saat ini tidak lebih pintar dari burung camar. "Bagaimana denganmu, Tuan? Tuan ini sudah menolak permintaanku." Wajahnya mengiba namun matanya berkilat penuh nafsu lapar. Tangannya yang seenaknya menyentuh dan mengusap pipi Alto membangkitkan gelegak amarah dalam diriku. "Kau tidak akan menolak permintaan tulus dariku ini, kan, Tuan?"

Mata Alto kosong, seakan jiwanya sudah lenyap entah ke mana. "Ya, tentu. Aku akan sangat senang sekali." Alto membeo.

Yeah, bagus. Kau sudah benar-benar kehilangan akal. Diam-diam aku semakin mengeratkan peganganku pada pinggangnya, menjaga tubuhnya agar tetap di sisiku.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang