41. Bertemu Kembali

959 276 16
                                    

Tubuhku mendarat setelah menjebol salah satu tembok sampai hancur.

Seluruh tulang dan otot dalam tubuhku menjerit ketika berusaha bangkit. Rasanya seperti seluruh tulangku remuk, tapi aku tahu itu tidak benar. Jika seluruh tulangku remuk, aku tidak akan bisa bergerak. Kenyataan bahwa aku masih bisa bergerak meski terbatas membuktikan bahwa tidak semua tulang di tubuhku hancur.

Kerikil berjatuhan dari atas tubuhku yang terbaring di lantai batu yang dingin. Kelihatannya aku mendarat di lorong lain. Mencoba membuka mata, segalanya masih belum terlihat jelas, masih tertutup asap tebal. Debu dan asap menghalangi pandanganku selama beberapa saat.

"Al," Terdengar suara Valika mendengar namaku. Suara veela itu terdengar sangat lirih. "Kau ... terluka?"

Setelah menyingkirkan semua serpihan batu, aku segera membiasakan mata di tengah semua debu ini dan mengecek seluruh anggota tubuh: kaki kanan, kaki kiri, tangan kanan, dan tangan kiri, semuanya lengkap. Bahuku terasa sakit, tapi masih bisa digerakkan jadi mungkin hanya memar, tapi tangan kananku hampir tidak bisa digerakkan. Aku sudah mencoba, tapi rasa sakitnya terlalu besar untuk diabaikan. Napasku juga sakit di setiap helaan, jadi mungkin ada tulang rusuk yang patah.

"Bukan masalah besar," jawabku tak acuh. Di dalam cahaya temaram dan kumpulan debu yang memudar, mataku menyipit mencari sosok Valika. Rupa-rupanya sosok yang kucari ada di depan mata. Aku berusaha bangkit dan duduk di hadapannya. "Kau sendiri tidak—Valika?"

Asap telah menghilang seutuhnya, menampakkan kondisi sebenarnya dari kami berdua. Aku duduk di lantai batu, penuh debu dan memar sementara Valika berlutut. Tubuh Veela itu, yang biasanya melayang, kini benar-benar menapak ke tanah, menekuk kedua lututnya di hadapanku ... dengan tiga benda seperti tombak raksasa menembus tubuh mereka.

Mataku menatap tiga benda mirip tombak kecil itu dari ujungnya yang mencuat di belakang punggung Valika hingga ujungnya yang lain yang mencuat dari dada dan perut veela itu, basah oleh lumuran cairan yang berwarna putih.

Selama beberapa lama, aku hanya terpaku pada genangan cairan putih di lantai, genangan yang tampak berkilau keperakan di bawah temaram lampu, genangan yang semakin lama semakin banyak mengalir dari tubuh Valika, dan genangan yang ikut membasahi sebagian baju dan celanaku.

"Darahmu." Aku berucap pada diri sendiri, namun bisa kulihat senyum merekah di wajah cantiknya.

Darah Valika. Cairan putih ini adalah darah Valika sang veela.

Aku beringsut, memandangi tiga tombak itu dari dekat. Tidak salah lagi. Ini taring troll yang tadi. Dia, veela ini, dengan ceroboh berlari ke hadapanku dan menerima semua serangan ini sendiri ketika tahu dirinya bisa saja lari. Tolol.

Tanganku baru akan mencabut salah satu taring itu ketika tangan Valika menahanku.

"Ceroboh." Dia tersenyum getir, kentara sekali menahan rasa sakit yang sedang dideritanya. "Kau tolol ... tidak bisa menyadari ... bahaya."

"Ya," jawabku dingin. "Karena itu sekarang aku menebus kesalahanku, jadi jangan halangi aku."

Valika tersenyum. Tangannya terangkat dan menyentuh ujung taring itu, ujung yang menembus perutnya. Api jingga menyelimuti taring itu, memusnahkan benda itu dalam sekali embusan napas.

Tapi itu tidak menyembuhkan luka Valika. Darahnya masih terus saja mengalir.

"Sudah ... cukup," lirihnya, terdengar seperti orang putus asa.

"Apa yang kau katakan?" tanyaku tak habis pikir. "Bukankah kau juga ingin keluar? Ingat kau juga ingin bebas dari sini."

Dia menggeleng lemah. Aku tidak bisa melihat matanya, tapi aku melihat bibir merahnya yang entah sejak kapan berubah sepucat salju, menyunggingkan senyum tipis.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now