52. Ditinggalkan Sendirian

972 264 35
                                    

Melintasi hutan gelap tanpa penerangan sama sekali adalah kecerobohan yang sangat fatal. Meski aku tidak pernah pergi ke hutan, Ayah pernah satu kali memberitahuku, bahwa jika berani bepergian di hutan saat tengah malam tanpa penerangan apalagi petunjuk jalan, aku tidak akan bisa keluar dari hutan sampai pagi.

Kupikir itu hanya dongeng untuk menakuti anak-anak agar tidak keluar rumah di tengah malam, tapi sekarang aku tahu itu bukan hanya petuah orang tua.

Meski pepohonan sudah sangat jarang akibat tumbang karena semua pertarungan itu maupun cahaya yang kembali memadai, tetap saja tidak ada yang berubah dari hutan ini. Lautan pepohonan yang hanya tinggal sedikit ini masih saja terlihat tanpa ujung dan terasa benar-benar menyesatkan. Guncangan-guncangan di belakang membuat langkahku goyah dan tidak bisa stabil, memperlambat langkahku yang masih belum jauh melintasi hutan ini.

Tanpa arah yang jelas, tenagaku habis oleh kegelapan tak berujung. Aku sudah tidak bisa melihat kedua tangan sendiri. Kegelapannya semakin pekat dan seluruh tubuhku sudah mencapai batasnya. Bahu dan tanganku semakin tidak bisa diandalkan, napasku habis, tenagaku terkuras, dan pandangan mataku tidak bisa lagi fokus. Segalanya tampak kabur dan kepalaku semakin berat, membuat langkahku berubah zig-zag dan tidak bisa stabil.

Lalu, tanpa sempat aku mencegahya, tubuhku sudah bersandar di pohon dan kakiku melorot ke tanah ... tak lagi punya daya untuk sekadar bergerak.

***

Sinar kemerahan itu membuatku tersadar.

Kelopak mataku sedang menutup. Ada cahaya kemerahan menerangi kegelapan, artinya ada cahaya di luar. Kepalaku menunduk, menghindari cahaya matahari itu dan mulai membuka mata.

Mencoba membiasakan diri dengan pandangan mata yang masih buram dan berkunang-kunang, mataku berkedip beberapa kali. Tak cukup, aku pun mengusapnya dan mendapati cairan lengket menempel dari bawah kelopak mata hingga ke pipiku. Aku mengusap lebih keras untuk membersihkan cairan lengket itu, tak terkejut melihat ternyata sekali mataku mengalirkan banyak darah, sebelum tertegun mendapat sebagian dari darah itu masih basah ketika kusentuh.

Sambil terus membiasakan diri, aku bangkit dan mencoba mengenali lingkungan sekeliling. Aku duduk di tengah tempat yang dikelilingi pepohonan, berbau lumut, dan udara terasa lembab.

Hutan.

Selagi sebagian diriku bertanya-tanya bagaimana bisa berakhir di tengah hutan, ingatan-ingatan secara selang-seling muncul di dalam kepalaku, memberi informasi sekaligus melengkapi kepingan ingatanku yang hilang setelah semalaman tertidur.

Benar juga, aku memang ada di hutan. Aku tersesat dan tidak bisa menemukan jalan keluar di tengah malam.

Aku segera merogoh saku celana dan membuka lipatan kertas yang diberikan Edward ketika ada di desa tadi. Pemuda itu menuliskan peta dan petunjuk jalan menuju reruntuhan bekas desa suku Carpantia lain yang berada di dekat kota. Katanya reruntuhan itu tidak jauh dari pinggiran kota namun sudah tidak jelas lagi bentuknya dan tidak bisa dikenali karena sudah dihancurkan.

Mungkin aku akan khawatir jika memang ingin pergi ke reruntuhan itu. Sayangnya, aku bukan bertujuan pergi ke reruntuhan desa itu, melainkan pergi ke bawah reruntuhan desa itu.

Lewati hutan, lewati kota Khardakk, dan lewati pemakaman, begitu bunyi pesannya. Menurut petunjuk Edward, reruntuhan itu benar-benar sudah tidak tersisa apapun lagi selain puing-puing. Satu jalan masuk sudah tertutup, namun bukan berarti tidak ada jalan masuk yang lain. Edward bilang, sebenarnya ada akses pintu masuk rahasia selain lewat reruntuhan yang sudah tidak selama itu, yaitu pintu yang hanya bisa diakses oleh para Lazarus, atau yang pada masa dulu adalah para Kandidat.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now