51. Dua Monster dan Satu Manusia

980 260 37
                                    

Aku berusaha mencerna kebenaran yang tersaji di depan mata.

Makhluk yang tidak lebih dari monster itu memang memiliki gelombang sihir berwarna yang sama persis dengan milik Azran: hitam pekat, kontras dengan meas matanya yang menyala seperti rembulan di tengah kegelapan ini. Jika aku berpegang pada kenyataan bahwa gelombang sihir milik semua orang berbeda seperti sidik jari, semua ini bukannya tidak masuk akal. Selain itu, Valika juga pernah mengatakannya padaku.

Penyihir adalah monster.

Penyihir dianggap sebagai monster di dunia mereka sendiri. Kaum veela pun menganggap para penyihir adalah monster, Valika bilang kaumnya banyak dimangsa oleh penyihir, oleh kaum Azran.

Ukuran mereka minimal sebesar benua dan benua adalah daratan yang sangat besar.

Ukuran mereka minimal sebesar benua dan benua adalah daratan yang sangat besar

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

Ternyata Valika tidak melebih-lebihkannya.

Bukan hanya satu kali aku menyebut para penyihir sebagai monster, tapi baru kali ini aku benar-benar meresapinya. Jalinan masih tersisa tapi bentangan sayap burung raksasa itu sudah menutupi hampir seluruh langit, ukuran tubuh monster satu lagi bahkan tiga lebih tinggi dari tebing di belakangku. Kekuatan mereka belumlah keluar sepenuhnya tapi mereka sudah bisa mewujud menjadi sosok kedua mereka.

"Membelokkan hukum dunia ini." Baba berkata. "Jalinan adalah rantai dunia ini. Membentuk batas yang kita kenal sebagai keteraturan. Para penyihir itu, mereka bukan dari sini. Jalinan menjaga mereka patuh pada aturan di dunia ini. Tanpa Jalinan, mereka akan mampu memanggil kekuatan sejati mereka, berubah dan menggunakan hukum dunia mereka ke dunia ini. Menghancurkan fondasi dunia ini secara perlahan."

Tidak hanya dia, aku yakin seluruh penyihir sudah bisa memanggil kekuatan mereka yang sebelumnya tertahan oleh jalinan.

Sial. Aku tidak pernah merasa selemah, sekecil, dan setidak berdaya ini seumur hidup. Di bawah dua monster ini, aku merasa benar-benar bukan apa-apa selain seekor tikus yang bisa langsung tergencet sampai mati jika berada terlalu dekat.

[Ada apa?] Suara bising mirip gelombang radio itu kembali terdengar di kepalaku. [Bukankah sudah kubilang kau harus membunuhku jika ingin merebut Lazarus itu dariku.]

Merebut Lazarus dariku? Sepertinya yang baru saja bicara tadi adalah Azran.

[Aku menghormati aliansi dua kaum kita meskipun kau sudah dibuang.] Sepertinya kali ini dengungnya muncul dari penyihir yang berbeda. [Kalau kau mau menyerahkan Lazarus itu baik-baik, aku tidak akan membunuhmu di sini sekarang.]

Monster yang menggelepar di tanah itu menggeram. Kepalanya naik dan leher panjangnya menjulur, berusaha menggigit kaki burung raksasa yang tengah menekannya ke tanah, namun gagal. [Dan sudah kubilang, kalau kau meginginkannya, kau harus mencabut jantungku lebih dulu!]

Aku menatap monster yang menggelepar di bawah kaki sang makhluk besayap. Tubuhnya yang dipenuhi warna hitam dan wujudnya yang tidak jelas benar-benar menunjukkan siapa dia sebenarnya. Rupa keduanya seburuk tingkah lakunya. Meski ada pepatah untuk jangan melihat seseorang dari luarnya, aku tidak pernah menampik terkadang penampilan luar benar-benar mencerminkan penampilan.

Lazarus ChestМесто, где живут истории. Откройте их для себя