57. Terikat Bersama Masalah

936 246 32
                                    

Penyihir satu ini benar-benar sulit dimengerti.

Dia sudah memberi jawaban padaku mengenai di pihak mana dirinya berada, tapi kemudian pernyataannya berubah total.

Tidak ingin aku berkorban nyawa? Apa maksudnya?

Sebelum aku sempat bertanya, tubuhku ditarik menjauh dari Altar. Tangan kananku yang masih menempel pada batu altar pun terlepas begitu saja.

Seluruh gelombang energi yang memenuhi kuil redup tak bersisa sama sekali saat itu juga. Lima lingkaran kuil yang tadi sudah menyala, sekali lagi mati, seperti sebelum aku menyalakannya dengan energi sihir. Ukiran di dinding kuil yang tadi sudah menyala, sekarang ikut redup total, membuang seluruh usaha kerasku tadi jadi percuma.

Tak perlu dikatakan lagi, sudah pasti aku memberontak. Aku sudah siap adu kekuatan dengannya jika perlu.

Namun anehnya, penyihir yang mendekapku erat dengan mudah melepaskan pelukannya pada pinggangku. Nyaris seketika itu juga saat aku menunjukkan gelagat akan melawan. Selama sesaat, aku pikir ritual ini bisa dilanjutkan dan segalanya akan selesai kembali. Tetapi alih-alih menunjukkan kekuatanku untuk berdiri sendiri, tubuhku malah limbung, tak sanggup mempertahankan keseimbangan. Kedua kakiku gemetar, tidak lagi bisa berdiri sendiri.

Kemudian aku pun sadar, tanganku masih ada dalam genggamannya. Spontan saja, aku mencoba melepaskan diri, mengakhiri kontak fisik apa pun dengannya detik itu juga.

Percuma.

Tenaganya terlalu besar, sekalipun meski masih berada di ruang yang sama denganku. "Lepaskan aku, Penyihir!" Aku mencoba memaki, tapi yang keluar dari mulutku hanya suara lirih yang menyedihkan, mirip orang sekarat.

Seiring dengan tenagaku yang semakin lama semakin sirna, perlawananku perlahan mereda. Pandanganku lantas berkunang-kunang, gagal untuk melihat dengan jelas ke depan, sementara kepalaku terasa sangat berat. Sekali lagi, lengan itu berhasil melingkari tubuhku. Tidak tinggal diam, aku mencabut bayonet milikku dari sarungnya dan mencoba memotong tangan lancang yang sudah berani menyentuhku itu. Tapi jangankan memotong, menikam pun gagal kulakukan.

Bilah besi itu jatuh begitu saja ke lantai ketika kedua tanganku terkulai lemas tanpa tenaga sama sekali dan napasku menjadi sangat berat.

"Kita akan keluar dari sini," bisiknya.

"Tidak." Tanganku berusaha mendorongnya, meski hasilnya nihil dan usaha itu malah memperparah kondisiku yang sudah benar-benar tak berdaya. "Aku ... belum selesai."

"Sudah kubilang, aku tidak akan membiarkanmu menyelesaikannya." Azran bersikeras.

Sekali lagi aku berusaha memberontak melepaskan diri dari pelukan paksanya namun lagi-lagi tidak ada hasil yang berarti. Usaha tambahan itu malah membuatku jatuh semakin lemah. Akibatnya penyihir itu dengan mudahnya mengangkat tubuhku dan menggendongnya seperti ketika kami berada di terowongan. Tanpa menyia-nyiakan satu detik pun, Azran segera mengangkatku dan berlari menaiki tangga.

Dalam gendongannya, aku masih berusaha memberontak, tapi pukulanku melemah menjadi pukulan payah yang mungkin hanya terasa seperti gelitikan di tubuhnya. Jika aku punya tenaga, mungkin aku sudah akan menggerakkan kakiku juga, tapi jangankan menggerakkan kaki, menggerakkan jari jemariku saja sudah hampir mustahil. Mulutku berusaha menjerit dan memberontak, namun bukannya berteriak, aku malah merintih.

"Kau ... benar-benar penyihir rendah," lirihku ketika wajah Azran perlahan tertutup titik-titik hitam yang semakin lama semakin banyak. Tangan dan kakiku berhenti melawan, sepenuhnya jadi bergantung pada penyihir ini.

"Terserah kau mau bilang apa, tapi aku tidak akan melepaskanmu." Cengkaman tangan Azran pada pundakku terasa semakin keras sebelum suaranya sendiri perlahan lenyap, teredam kesunyian yang ganjil.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now