9. Jatuh

1.2K 335 22
                                    

Aroma hijau rumput mengharum semerbak. Langit biru cerah dengan awan yang berarak pelan-pelan di langit membentang sejauh mata memandang. Angin musim panas beraroma gandum dan rumput bertiup pelan. Dengan malas kutiup helai-helai poni hitam dari depan mataku. Tanganku meraba rumput, menikmati sensasi kasar, lembut, dan empuk dari rerumputan yang tumbuh alami di tanah. Kubiarkan sensasi itu menari-nari di antara sela jemariku dengan bahagia.

"Lissy!" Bayangan seseorang menutupi pandanganku, menghalangiku dari menikmati langit yang cerah. Aku memberengut kesal pada seorang gadis kecil dengan rambut pirangnya yang selalu membuatku iri. "Ibu bilang tidak boleh tidur di rumput! Nanti laba-laba masuk ke rambutmu!"

Aku berbaring ke sisi kanan. "Bilang pada Ibu, lima menit lagi, Lizzy. Aku masih lelah."

Bunyi tuk-tuk dan ketukan kecil yang mengganggu di kepala membuatku mengayunkan tangan dengan liar ke udara, mengusir apapun yang berani mematuk-matuk kepalaku. Tanganku berhasil menyingkirkan sesuatu dari atas rambutku.

Kudengar sesuatu jatuh ke tanah dan mencicit pelan dalam bunyi serak aneh. Ayah mencoba membuatnya terdengar mirip burung asli, tapi hasilnya mengerikan. Suaranya mirip burung malang yang hampir mati. "Lizzy, jangan gunakan Perry untuk membangunkanku!" Aku menggerutu.

Lalu angin tiba-tiba saja berhenti berembus.

"Ibu tadinya ingin kau ditarik sampai rumah daripada sekadar menyuruh Perry mematukimu, Alicia."

Seketika aku bangun dan menoleh, bertemu pandang dengan ibuku yang masih mengenakan apron penuh jelaga. Dia pasti baru saja keluar dari dapur. Bau apple pie menguar dari tubuhnya, pertanda pai dari apel hasil panen kemarin sudah jadi dan siap disantap.

"Aku tidak tertidur, Bu. Hanya berbaring." Aku berbohong, tak ingin mendapat cubitan lagi di pipi.

Ibu hanya menghela napas dan menatap Lizzy yang sedang membelai automaton burung parkit kami, Perry, dengan lembutnya. Aku memutar bola mata dengan jengkel. Dia tahu Perry terbuat dari besi dan tidak bisa merasakan sentuhan tapi masih saja mengelus-elusnya seperti kuda. Lizzy menjulurkan lidah tak suka.

Aku membalas juluran lidahnya. Seolah mendukung Lizzy, Perry ikut berkoak nyaring. Dasar pengkhianat. Padahal aku yang membuatnya bersama Ayah. Lihat ke mana dia berpihak sekarang!

Ibu hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua. Ia menatap Lizzy. "Pergilah ke rumah dan bagikan apple pie itu ke tetangga."

Lizzy menggembungkan kedua pipi, yang menurutku terlihat menyebalkan tapi imut di mata semua orang. Dia baru berumur delapan tahun, aku bisa bilang apa sebagai anak tertua? "Tapi rumah tetangga kita jauh."

Adikku tidak melebih-lebihkan. Jarak rumah tetangga paling dekat dengan kami harus ditempuh sepuluh menit perjalanan dengan kuda. Kuberikan senyum mengejek atas kemalangan Lizzy.

"Bibi Victoria akan mengantarmu. Eden juga akan ikut." Rajukan adikku berhenti seketika. Wajahnya berubah cerah mendengar nama anak lelaki tetangga kami, Eden, disebut. Dengan gembira dia berlari menuruni bukit menuju rumah kecil kami di bawah sana. Sepanjang jalan ia tak henti menari hingga tubuh kecilnya masuk melalui pintu belakang rumah.

Aku menatap padang rumput dan lembah yang berubah kuning di musim panas. Di tengah kesunyian karena angin yang berhenti berembus, terdengar suara kicauan merdu dari langit. Aku mendongak, menutupi pandangan dari sinar mentari yang cerah di angkasa, menyaksikan satu kawanan burung terbang melintasi lembah kami.

Aku menunjuk sekawanan burung itu. "Kenapa burung-burung itu bisa terbang padahal tidak ada angin?"

"Karena mereka punya sayap."

Lazarus ChestNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ