27. Azran

1K 305 37
                                    

Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang.

Setelah entah untuk berapa lama panik dan tidak tahu harus berbuat apa karena peralatan untuk membersihkan luka dengan layak tanpa menyebabkan infeksi lebih parah sama sekali tidak tersedia, aku bisa sedikit bernapas lega.

Tanpa punya latar apapun di bidang dokter, kepintaran yang hanya setara dengan anak umur sepuluh tahun jika menyangkut hal-hal di luar mesin, sebelah tangan yang sudah tidak bisa banyak diandalkan, dan otak yang setengah awam mengenai cara mengetahui bunyi detak jantung, aku harus menjaga nyawa seseorang tetap hidup. Bukan tugas yang kedengaran menyenangkan.

Aku hanya tahu bunyi detak jantung ada di dada dengan posisi agak ke kiri. Semampunya, aku hanya bisa berusaha mencari, berharap menemukan denyut yang tersisa. Dan memang ada, di tempat yang kuduga, walaupun denyutnya mulai lemah.

Aku tidak tahu apa-apa soal membalut luka. Yang aku tahu hanya balut sekencang mungkin sampai darahnya berhenti. Di sini tidak ada perban, tapi aku rasa perban milikku bisa digunakan.

Satu demi satu, aku membuka kancing kemeja Xerlindar. Setetes keringat meluncur turun di pelipisku.

Aku laki-laki, aku terus membisikkan kalimat itu kepada diri sendiri, berharap dengan terus mengulanginya dalam hati, rasa gugup akan segera pergi.

Setelah memposisikan Xerlindar untuk duduk bersandar di tembok dengan posisi menyamping, pelan-pelan, aku melepas perban yang lengket penuh darah dari tubuh penyihir yang sudah berlumuran darah itu. Demi Langit, darahnya banyak sekali sampai terlihat seakan dia baru saja mandi darah. Tubuhnya kaku menahan sakit dalam keadaan tak sadar ketika aku melepas perban itu selapis demi selapis.

Mulutku kehilangan kemampuan berkata-kata.

Banyak torehan luka segar yang memenuhi tubuh Xerlindar di depan, samping, maupun belakang. Tanpa ampun, torehan yang masih mengeluarkan darah segar itu memenuhi bagian depan, punggung, bahkan pundaknya, seperti tato.

Tato yang terlihat familiar.

Di atas lukanya, jariku menggambar garis majiner mengikuti bentuk torehan luka itu. Aku berpindah ke depan untuk melihat dengan lebih baik dan langsung yakin bahwa mataku tidak salah lihat.

Ini tato yang sama dengan tato yang dimiliki pemuda itu, tiga tahun lalu. Bentuknya benar-benar sama.

Apa mungkin ada dua orang dengan tato sama persis?

Mungkin saja. Ada banyak seniman tato, ada banyak motif, mereka bisa memesan motif yang diinginkan atau mengikuti tren. Mungkin motif ini sedang menjadi tren di kalangan perompak. Tato yang sama tidak mengatakan apapun.

Lalu aku teringat noda hitam yang sempat kulihat mengintip dari celah kemeja Xerlindar yang terbuka. Apa noda hitam itu adalah tato ini? Kalau begitu kenapa sekarang tato ini malah membuka dan terluka seperti baru diukir?

Sadar akan keadaan genting yang masih belum lewat, kusingkirkan semua pertanyaan itu dan kembali fokus pada apa yang harus aku lakukan. Tapi tetap saja, aku tidak bisa menghentikan kecemasan sekaligus kekaguman yang merekah dalam diriku.

Lukanya sangat banyak sampai tubuhnya kelihatan seperti bermandikan darah tapi dia tidak pernah sedikit pun meringis. Bagaimana bisa laki-laki menahan sakit sampai seperti ini? Dia benar-benar hebat dalam menahan sakit, terutama di hadapan seseorang seperti Oryziel.

Pelan-pelan, aku menggunakan bekas perbannya untuk membersihkan sisa darah yang masih ada. Berulang kali aku bolak-balik ke sungai untuk membuang sisa darah dari perban yang sudah tidak layak pakai itu hanya dengan sebelah tangan yang masih berfungsi. Setelah luka pada tubuh Xerlindar bersih, aku menggunakan perban bekas itu untuk membersihkan darah dari tangan kananku dan meringis sendiri melihat daging merah muda yang terlihat dari balik luka sayatan yang masih menganga lebar di sana. Kubuang perban bekas itu ke air pembuangan dan berbalik memunggungi Xerlindar. Kancing demi kancing, aku mulai melepas kemeja sendiri.

Lazarus ChestDove le storie prendono vita. Scoprilo ora