33. Target Ditemukan

1K 273 15
                                    

"Kenapa kau diam saja, Tolol?!"

Teriakan salah satu awak yang tengah terdesak itu menyadarkanku. Perlahan tapi pasti pertarungan bergeser semakin dekat ke arahku. Para penyihir itu mencoba mendekatiku, mencoba menangkapku pelan-pelan dengan mendesak para awak. Pengalaman bertarung bertahun-tahun para awak Black Mary tampak tidak ada apa-apanya dibanding para penyihir ini. Para awak didesak dengan mudah.

"Cepat pergi!" Awak yang lain berteriak. "Kenapa kau malah—

Sebilah pedang yang menembus perutnya menghentikan kata-kata perompak itu. Penyihir yang menikamnya mencabut pedang itu dengan mudah seraya menyeringai padaku.

"Kalian ... siapa?" Hanya dua kata itu yang sanggup keluar dari mulutku di tengah rasa sakit yang menghunjam bertubi-tubi tanpa henti, kepala yang semakin lama terasa semakin berat, dan panas yang mendidihkan seluruh tubuhku.

"Untuk apa kau tahu?" Penyihir itu menodongkan pistolnya padaku sambil mencibir. "Kau akan segera mati."

Aku buru-buru berbalik. Baru satu langkah, terdengar bunyi retak di dekatku. Kakiku menginjak sesuatu. Kepalaku menunduk dan segera saja mataku membelalak lebar. Kacamata pelindungku. Gawat, aku sudah menginjak lensanya sampai retak!

Peluru yang tiba-tiba melesat di dekat kepalaku menjadi alarm bagiku untuk lari detik itu juga. Setelah memungut dengan cepat kacamata yang sudah retak itu, aku berbalik, menghindar dari pertarungan yang semakin mendekat. Selagi berlari, beberapa kali peluru memantul ke dinding dan melesat hampir mengenai beberapa bagian tubuhku.

Seakan rindu rasanya menggerogotiku pelan-pelan, rasa sakit ini sekarang menyerang dengan intensitas yang tidak main-main. Di tengah usaha melarikan diri, ringisan menyedihkan keluar dari mulutku. Setelah beberapa hari terbebas darinya, aku jadi tidak terbiasa dengan rasa sakit ini.

Segerombolan penyihir sedang bertarung di tengah lorong yang termasuk ke dalam ruteku melarikan diri, menutup jalan keluarku.

"Jangan biarkan target lolos!" Kepalaku menoleh ke belakang, melihat salah satu penyihir mampu mengejarku dan sudah sampai ke jarak yang sangat dekat. Tangannya siap dengan pistol yang sedang diisi ulang. Aku berbalik sekali lagi, menatap ke jalan yang tadi hendak kuambil.

Sial. Pertarungan telah berhenti sejenak dan aku sudah jadi pusat perhatian.

Aku mengambil lorong di sebelah kiri, menghindari pertarungan di depan mata dan pengejar yang gigih di belakang. Untunglah di lorong kali ini tidak ada pertarungan yang sedang berlangsung, hanya ada sisa-sisanya yang berserakan di lantai. Mataku menangkap belasan senjata tajam terabaikan di lantai. Tanganku memungut satu pedang yang tergeletak tak bertuan, meski tidak tahu apa yang mau kuperbuat dengan pedang ini. Persetan, yang penting aku memegang senjata dan tidak terlihat seperti anak bebek yang melarikan diri!

Tembakan kembali menghujani tubuhku. Sial, kenapa yang mengejarku terdengar semakin ramai? Apa orang-orang yang tadi melihatku mendadak memutuskan untuk mengejarku lebih dulu? Demi Langit, ini bukan malam keberuntunganku, kalau begitu.

Suara satu pengejar itu kini berubah menjadi suara sekelompok pengejar dan mereka terdengar semakin dekat. Kakiku mempercepat lajunya, namun entah kenapa aku merasa jarak di antara aku dan mereka yang mengejarku malah semakin tipis.

Di tengah jalan, ada beberapa perompak yang kujumpai. Tanpa kusuruh, mereka langsung menerjang para penyihir di belakangku tanpa pernah memedulikan aku yang jadi kejaran. Berkat para perompak itu, penyihir yang mengejarku terdengar berkurang.

Tapi masih ada satu yang tetap gigih mengejar.

Sekuat tenaga, aku berusaha berlari semakin kencang. Sayangnya napasku sudah hampir habis, otot-ototku menjerit, dan tenagaku sudah banyak terkuras.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now