35. Kepercayaan yang Hancur

1K 282 25
                                    

Di ujung lorong yang mengarah langsung ke aula depan, sosok Oryziel berjalan selangkah demi selangkah mendekati Azran.

Sang raja berjalan dengan tenang ke arah sang penyihir-perompak sambil menepuk-nepuk debu, beberapa serpihan kaca, dan besi yang menempel di pakaian hitamnya, pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh anggota Garda Kerajaan yang masuk ke sini. Berbeda dari pakaian hitamnya yang biasa, tidak ada lencana mencolok yang tersemat di satu pun bagian bajunya. Jika ada yang membedakannya dengan anggota Garda Kerajaan yang lain, itu adalah tanda pangkat bersepuh emas yang tersemat di kedua pundaknya.

Melihatnya di sini, aku tidak ragu mengatakan semua serangan ini adalah idenya.

Luka-luka di wajah dan tubuh Oryziel pulih dalam satu kedipan mata, hanya meninggalkan segaris jejak darah di pakaiannya dan beberapa bagian wajahnya. Kakinya berjalan dengan cukup baik, tak terlihat sedikit pun jejak pernah patah beberapa jam sebelum ini.

[Kau jahat sekali, Azran.] Ada dengung lagi yang terdengar di kepalaku. Melihat Oryziel yang mendadak menyeringai tanpa berkata apa-apa dan yang dipanggil adalah Azran, kemungkinan besar dialah yang baru saja bicara. [Mana mungkin aku bermaksud membunuh kakakku sendiri.]

Oryziel menggunakan sihirnya semakin banyak. Berbeda dengan sihir Azran yang berkurang, sihir Oryziel masih sangat banyak dan melimpah. Seperti dulu, sihir Oryziel masih sangat menyakitkan untuk diterima, terlalu banyak untuk ditanggung. Sakit di mataku sudah tidak bisa menunggu. Seperti pengecut, aku melarikan diri tanpa pikir panjang dari hadapan dua penyihir royalis itu dan bersembunyi di balik tembok.

Seharusnya aku memang lari sejauh mungkin dari sini, tapi kala teringat jika lawan Oryziel adalah Azran yang berada dalam kondisi tidak terlalu baik, langkahku tertahan. Aku tidak bisa meninggalkan penyihir-perompak itu, tidak ketika tahu Oryziel yang masih sekuat ini menjadi lawannya, tidak ketika tahu kondisinya sudah tidak memungkinkan.

Kenapa aku terdengar seperti peduli padanya?

Eh? Astaga!

Kepalaku melihat langit-langit, memandangi gelombang hitam dan hijau yang saling terajut seperti benang kusut dengan hati mencelus. Kekuatanku masih bocor dan masih saja memakan energi sihir terdekat dan paling lemah, yang tidak lain adalah sihir Azran. Alhasil, energi sihir penyihir itu semakin redup saja.

Berhenti. Aku mengulangi kata itu bagai mantra puluhan kali di dalam kepalaku, berharap gelombang sihir yang memancar dariku benar-benar berhenti dari memakan semua gelombang sihir terdekat tanpa pandang bulu. Ayolah, berhenti, kumohon.

Sayangnya sihir milikku tidak mau berhenti. Dia masih terus memakan energi sihir Azran. Mencoba berkonsentrasi, aku menutup mata dan melakukan seperti yang pernah Azran beritahukan padaku. Bayangkan energinya berhenti.

Seperti waktu itu, aku membayangkan diriku sedang menutup pintu masuk hanggar. Kali ini aku menekan penuh tuasnya, membiarkan pintu masuk ke hanggar turun sepenuhnya, mengunci bagian dalam hanggar dari kapal udara manapun yang berani masuk. Tak lupa, aku mengunci tuas, mencegahnya memutar kembali. Kali ini gerbang benar-benar tertutup.

Masih dalam keadaan kesakitan, aku membuka mata perlahan, dan melihat gelombang energi sihir berwarna hijau zamrud milikku sudah menghilang, menyisakan energi sihir milik Azran dan Oryziel saja. Benar-benar lenyap. Napas lega keluar dari mulutku.

Tapi harus kuakui rasanya menahan energi benar-benar ... lucu.

Rasanya seperti ada makanan yang hendak keluar dari mulut tapi tidak bisa keluar. Rasanya benar-benar tidak enak.

Bagaimana mungkin para penyihir bisa bertahan menahan energi sihir merekea, terutama Oryziel, sampai tidak ada setetes pun yang bocor?

Kusingkirkan pertanyaan tak penting itu untuk saat ini. Sambil menahan sakit yang terus menusuk dan darah yang tak mau berhenti mengalir dari mata, aku mengintip dari balik dinding, mencoba melihat apa yang terjadi di luar sana.

Lazarus ChestWhere stories live. Discover now