14. Xerlindar

1K 301 9
                                    

Tidak ada lagi kapten Xerlindar tambun yang buruk rupa.

Di hadapan kami semua kini berdiri seorang pemuda di pertengahan usia dua puluh, bukannya pria paruh baya. Alih-alih tambun dan pendek seperti kentang, tubuhnya tinggi dan perutnya rata. Kancing-kancing di kemejanya tidak lagi kelihatan menderita. Sebaliknya, mereka terlihat sangat lega di tubuh yang sudah jauh mengecil itu.

Cara berdirinya tegap. Kakinya tidak mengangkang membentuk huruf O seperti pria tambun yang tadi berdiri di tempatnya. Wajahnya yang berjanggut kasar, penuh kutil, dan lipatan lemak lenyap, berganti wajah mulus dengan rambut hitam halus menutup seluruh permukaan kulit kepalanya. Mata hitamnya lenyap, berganti sepasang mata emas yang berpendar lebih terang. Sepasang mata itu memandang Will dan bibirnya menyunggingkan senyum.

Wajah itu, potongan rambut itu, suara itu, dan mata emas itu, semuanya sama. Semuanya masih ada pada tempatnya. Dia benar-benar pemuda yang aku temui malam itu.

"Kau!" Mataku terpaku pada pelipisnya, mencari luka sayat namun hasilnya nihil. Mulutku membeku. Tuduhan sudah ada di ujung tenggorokanku, tapi lidahku berubah kelu.

Sebelah alisnya terangkat dalam cara yang benar-benar menyebalkan untuk disaksikan. Senyumnya sirna. Wajahnya memberengut. "Aku apa?"

Percuma. Tidak ada luka untuk membuktikan apa yang terjadi malam itu. Dan dia tidak terlihat mengenalku. Dia malah menatapku sama seperti melihat orang asing. Aku hanya akan mempermalukan diri sendiri jika berteriak seolah mengenalnya. Berpikir cepat, satu tuduhan lain langsung singgah di kepalaku.

"Kau penyihir!" pekikku, berusaha terdengar sespontan mungkin, berusaha terdengar bahwa aku tidak baru saja merencanakan kata itu untuk keluar dari mulutku.

Sebelah alis kapten Xerlindar terangkat. Keheranan terlukis jelas di wajahnya. "Ya, lantas?" tantangnya.

"Lan-tas?" Kata terakhir dari pemuda itu bergaung keras di dalam kepalaku.

Kenapa caranya bicara seolah aku baru saja mengatakan hal paling tidak penting sedunia?

Jawabannya langsung datang. Tatapan tajam dari mengawasiku dari segala sudut. Seluruh awak menyorot tajam ke arahku. Mereka semua, tanpa kecuali, memicingkan mata, menyatakan kebencian secara terang-terangan. Tangan-tangan mereka sudah bersiap di senjata masing-masing, pedang maupun senapan, seolah jika aku mengatakan sesuatu yang buruk, mereka akan menggunakan senjata-senjata itu membunuhku sekarang juga.

Tatapan mata mereka mengatakan semuanya. Jadi para awak sudah tahu kalau kapten mereka penyihir? Begitu saja? Tidak ada yang melawan? Semuanya hanya diam dan menurut?

Kalau begitu apa bedanya kapal ini dengan Serikat? Kelompok perompak terkenal ini jadi terlihat seperti replika Serikat, hanya saja dengan fasilitas lebih bagus dan kebebasan yang lebih luas.

"Aku menunggu ...." kapten Xerlindar melipat tangan di depan dada. Sudut-sudut bibirnya naik membentuk senyum congkak, sama persis dengan senyum yang ditunjukkannya malam itu. Ah bukan, maksudku pemuda yang aku temui malam itu.

"Tidak ...." Aku menarik napas dalam-dalam dan menunduk di hadapannya. Kurasa bicara bukan pilihan bijak di sini. "Tidak ada ... Sir."

Kapten Xerlindar mengambil satu langkah maju. Bunyi langkahnya bergema di dalam telingaku. Hampir secara refleks, aku mengambil satu langkah mundur. "Apa kau mau bilang penyihir tidak pantas menjadi kapten perompak?"

"Tidak ...." Entahlah apa aku harus senang atau merasa sial karena terdengar terlalu tenang. "Saya ... tidak pernah berpikir untuk mengatakannya."

Kapten Xerlindar mengambil satu langkah maju lagi, begitu pula denganku menarik satu langkah mundur. "Oh, tapi kau ingin mengatakannya tadi. Kalau tidak, untuk apa kau memekik?"

Lazarus Chestजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें