13. Kelompok Perompak

1.2K 323 27
                                    

Tidak ada yang bicara selagi kami bertiga mengarah ke pelataran kapal udara utara. Tanpa melakukan kontak dengan orang lain, kami berjalan dalam diam melewati berbagai macam orang yang sebagian besar berjalan dan bersenda gurau dalam keadaan mabuk. Mulut mereka bersuara parau dengan berbagai macam racauan tidak jelas sementara langkah mereka sempoyongan, membentur apapun yang berani menghalangi jalan.

Sulur-sulur hijau milikku terus keluar memakan sihir hitam milik penyihir-perompak di depanku, namun seakan tidak ada habisnya, jumlah sihirnya tidak berkurang sama sekali. Nyala asap merah-hitamnya masih sama terang dengan beberapa menit lalu.

Sementara dia tampak baik-baik saja, aku sudah kepayahan setengah mati di sini.

Kepalaku menunduk, napasku tersengal, dan peluh menetes tanpa henti karena energiku terus menerus terkuras oleh rasa sakit akibat sihir sialan miliknya. Bersikap tenang terasa semakin sulit. Sinar menyengat matahari musim panas membakar kulitku sepanjang jalan yang mulai mendaki menuju pelataran kapal udara, membuat kepalaku pening dan semakin memperparah rasa sakit ini.

Terdengar gelak tawa. Kepalaku mendongak sedikit dan melihat Will memalingkan separuh wajahnya, tersenyum padaku. "Baru beberapa langkah dan kau langsung kehabisan napas?" Pemuda itu mencibirku. "Kau diberi makan apa di dalam sana?"

Apa saja yang layak, jawabku dalam hati.

Tampak sedikit kecewa karena tidak mendengar jawaban dari mulutku, Will berpaling ke depan ke arah kaptennya. "Kapten, kau sungguh-sungguh ingin dia bergabung dengan kita? Dia kelihatan tidak berguna sama sekali!"

Sang kapten tidak menjawab, membuat Will langsung terdiam dan tidak bertanya lagi. Kecanggungan yang tidak menyenangkan mulai terbangun di antara kami bertiga.

Pertanyaan-pertanyaan berkutat di benakku sepanjang langkah. Untuk apa aku ada di sini? Kenapa dia mendadak membeliku? Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain padahal ada banyak orang lain di dalam gudang saat itu?

Will berbalik lagi dengan wajah heran. "Kau tahu, ini saatnya kau mulai banyak bertanya, misalnya siapa kami, apa mau kami, atau kenapa kau ada di sini." Sungguh aku juga ingin tahu, tapi apa gunanya bertanya? Semua sudah terjadi. "Sungguh? Tidak ingin bertanya? Padahal aku juga ingin tahu sekali kenapa kau ada di sini. Kenapa dia ada di sini, Kapten? Aku tidak ingat agenda kita ke Tortuga untuk mencari awak baru."

"Memang tidak ada, Tuan Clayton. Aku baru saja memikirkannya tadi."

Itu tidak membantu. Jawaban itu hanya membuat pertanyaan di dalam kepalaku bertambah banyak. Dia baru saja berpikir untuk membawaku. Dia tidak berencana dari awal untuk membeli budak.

Kenapa? Kenapa begitu mendadak? Kami belum pernah bertemu sebelum di gudang tuan Hector kan? Apa sejak dari sana dia berniat untuk membeliku?

"Kurasa dia akan jadi orang yang membosankan," Will mengeluh. "Hei, kalau kau sekarat dan merasa akan mati, cobalah untuk melapor lebih dulu ya! Aku lebih suka calon mayat berjalan sendiri dan keluar kapal daripada menyusahkan awak lain untuk membuang jasadnya!"

Akan kuusahakan.

"Demi Hantu Perompak!" Will mengerang frustasi. "Kau ini sama sekali tidak suka bicara ya?"

Aku mendesah dan kembali menunduk. "Karena bicara tidak ada gunanya."

Diam sedetik. "Apa kau baru saja bilang sesuatu? Kalau ya, tatap mata orang yang mengajakmu bicara!" Pemuda berkulit gelap itu menggeram.

"Sungguh?" Tanpa sadar aku menyeringai. "Kau mengizinkanku menatap matamu, Sir? Seorang budak sepertiku diperbolehkan menatap lawan bicara yang derajatnya lebih tinggi dariku?" Di Simon's, aku memang diperbolehkan menatap lawan bicara. Louis malahan melarangku menundukkan kepala di hadapan orang lain. Tapi pria itu, sang kapten, adalah penyihir. Tidak ada penyihir yang suka ditatap oleh manusia.

Lazarus ChestKde žijí příběhy. Začni objevovat